script src="http://raxterblog.googlecode.com/files/bintangberjatuhan.js">

Minggu, 24 Maret 2013

Teori Dasar Sosiologi

Istilah sosiologi muncul pertama kali pada tahun 1839 pada keterangan sebuah paragraf dalam pelajaran ke-47 Cours de la philosophie (Kuliah Filsafat) karya dari Auguste Comte. Sebelumnya Comte sempat berpikir untuk memberi nama ilmu pengetahuan masyarakat dengan sebutan “fisika sosial”, tetapi beberapa bulan sebelumnya seorang dari Belgia bernama Adolphe Quetelet telah menggunakan nama tersebut untuk menyebut apa yang sekarang dianggap sebagai demografi.
Oleh karena hal tersebut dengan terpaksa Comte mengurungkan niat untuk memberi nama “ilmu pengetahuannya” tersebut dengan fisika sosial, sebagai gantinya Comte menyebutnya sebagai “sosiologi”, yang dibentuk dari bahasa Latin socius (masyarakat) dan bahasa Yunani logos (ilmu). Selain hal tersebut, Comte juga yang pertamakali mengaplikasikan metode ilmiah kedalam ilmu sosial, Comte percaya bahwa studi sosiologi haruslah ilmiah. Ia memberikan pengaruh yang cukup besar pada beberapa orang teoretisi sosiologi. Comte hidup pada masa akhir revolisi Prancis yang didalamnya terdapat serangkaian pergolakan-pergolakan yang muncul saling berkesinambungan, sehingga Comte lebih menekankan arti pentingnya keteraturan sosial. Comte merasa terusik dengan anarki dimasa itu seingga menyebabkan ia lebih kritis dengan para pemikir yang menumbuhkan revolusi (pencerahan). Comte mengembangkan pandangan ilmiahnya untuk melawan apa yang secara destruktif memberikan filsafat negatif dari pencerahan.
Comte dalam pandangannya sejalan dan dipengaruhi oleh pemikir Katolik kontrarevolusi Prancis seperti de Bonald dan de Maistre. Namun apa yang dikemukakan oleh Comte memiliki 2 kelebihan, yaitu :
1. Menurut pendapatnya, tidak mungkin untuk kembali lagi ke Zaman Pertengahan dikarenakan telah berkembangnya secara canggih ilmu pengetahuan dan industri yang menjadikan hal tersebut mustahil.
2. Comte mengembangkan sistem teoretis yang lebih canggih (terstruktur dan sistematis) daripada para pendahulunya, yaitu sebuah sistem teoretis yang cukup untuk membangun sosiologi awal.
Selain hal-hal tersebut, latar belakang lain yang mempengaruhi jalan pemikiran Comte terhadap pandangannya ialah lahirnya paham yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Saint-Simon.
Menurutnya sosiologi akan menjadi sebuah ilmu yang dominan, menelaah tentang statika (struktur sosial yang ada) dan dinamika sosial (perubaan sosial). Meskipun keduanya sama-sama melibatkan pencarian hukum-hukum kehidupan sosial, ia merasa bahwa dinamika sosial lebih penting daripada statika sosial karena dinamika sosial berisi tentang teori perkembangan dan kemajuan masyarakat dan dinamika sosial juga merupakan study tentang sejarah yang akan mengilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri. Fokus pada perubahan sosial inilah yang menunjukkan minatnya kepada reformasi sosial, khususnya reformasi terhadap dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh adanya Revolusi Prancis dan Pencerahan.
Tetapi dalam pandangannya tersebut Comte tidak menyerukan untuk perubahan secara Revolusioner, karena ia merasa evolusi alamiahlah yang dapat merubah masyarakat dan memperbaiki semuanya. Reformasi yang dibutuhkan hanya sedikit untuk membantu terlaksananya proses ini. Kemudian melalui pandangan ini Comte mengeluarkan pendekatannya tentang teori evolusi linier yang disebutnya sebagai hukum tiga tahap, didalam teori ini tersirat bahwa terdapat tiga tahap intelektual yang secara pasti akan dilalui oleh ilmu pengetahuan, dunia, individu, masyarakat dan bahkan pikiran pun ikut turut kedalam teori tiga tahap ini.
Tahap yang pertama ialah tahap Teologis yang merupakan ciri dunia sebelum tahun 1300. Dalam masa itu, sistem pikiran utama manusia dititikberatkan pada  kepercayaan terhadap kekuatan supranatural dan figur-figur religius menjadi akar segalanya. Secara khusus, dunia sosial dan fisik dianggap sebagai dua hal yang dibuat oleh Tuhan. Masa ini adalah masa kepercayaan magis, percaya pada jimat, roh, dan agama, dunia dipercayai menuju kepada alam baka, menuju ke pemujaan terhadap nenek moyang, kemudian menuju ke sebuah dunia dimana “orang mati dianggap mengatur orang hidup”. Kemudian pada tahap yang kedua ialah tahap Metafisika. Yang kira-kira berlangsung antara tahun 1300 hingga tahun 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bawa kekuatan abstrak seperti ‘alam’, dan bukan tuhan yang dipersonalisasikan, diyakini dapat menjelaskan segalanya. Kepercayaan gaib diganti oleh kekuatan abstrak, seperti “Alamnya” Spinoza, “Tuhan Geometrinya” Descartes, “Materinya” Diderot dan juga “Akal sehatnya” Abad Pencerahan. Masa ini dianggap sebagai masa kemajuan jika dikaitkan dengan pemikiran antropomorfis sebelumnya, namun demikian pemikiran orang masih dianggap terbelenggu dalam konsep filosofis yang abstrak dan universal. Orang mengkaitkan realitas dengan prinsip-prinsip pertama. Ini yang ditulis oleh Comte sebagai “metode filsuf”. Kemudian, pada jenjang terakhir ialah tahap positif yaitu pada tahun 1800 yang dicirikan oleh kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan, keadaan intelegensia kita yang telah ‘berani’. Kini orang lebih cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (Tuhan atau alam) tetapi lebih berkonsentrasi pada penelitian dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya. Semangat positif menyingkirkan pencarian menyangkut pertanyaan hakiki “mangapa” yang terkait dengan segala sesuatu dalam memikirkan tentang perbuatan, yaitu “hukum-hukum efektif berupa hubungan suksesi dan kesamaan yang tidak berubah.
Jelas bahwa dalam teorinya tentang dunia, Comte mengedepankan perhatiannya pada faktor intelektual. Ia menegaskan bahwa kekacauan intelektuallah yang menjadi dasar dari kekacauan sosial. Kekacauan yang timbul dari sistem pemikiran sebelumnya (teologis dan metafisis) kemudian terus muncul pada pada zaman positivistic (ilmiah). Baru setelah positivism mengambil kendali semauanya, keresahan sosial akan menurun dan hal tersebut merupakan proses evolusi yang hingga akhirnya nanti dapat mendatangkan keteraturan dalam dunia sosial. Menurut pandangananya juga terdapat banyak kekacauan yang terjadi di dunia ini. Pada banyak kasus, Comte mengemukakan bahwa yang diperlukan adalah perubahan intelektual, sehingga hanya ada sedikit alasan untuk melakukan revolusi politik dan sosial.
Secara keseluruhan beberapa pandangan Comte yang penting dalam perkembangan sosiologi klasik. Landasannya yang begitu konservatif, reformis, dan ilmiah, dan pandangannya tentang evolusionernya dunia. Comte ada di garis depan perkembangan sosiologi posivistik, positivismnya menegaskan bahwa ‘alam semesta sosial bertanggung jawab atas perkembangan hukum yang dapat diuji dengan pengumpulan data secara seksama’ dan ‘hukum-hukum abstrak ini akan merujuk pada unsur dasar dan genetik semesta sosial tersebut dan akan memperlihatkan hubungan alamiah’. Meskipun positivism tetap penting dalam sosiologi kontemporer, namun ia telah dicecar dari berbagai arah. Walaupun Comte miskin dari segi akademis yang kuat bagi terbangunnya mazhab teori sosiologi Comtian, namun ia telah meletakan dasar bagi perkembangan arus utama dalam teori sosiologi. Namun signifikansi jangka panjang ini dikerdilkan oleh penerusnya di sosiologi Prancis, dan pewaris sejumlah gagasanya, Emile Durkheim maupun teoretis klasik lainnya.
Setelah mengungkapkan prinsip-prinsip postivisme sejak saat itu ia membuang dasar-dasar organisasi sosial yang pernah dihasilkannya. Mulai tahun 1845 Comte menghabskan waktunya dengan menulis “sistem politik positif” yang nantinya bertransformasi menjadi “agama baru”.
Comte mengkritik “semangat teologi” kuno meskipun ia merasa bahwa agama turut bertanggung jawab sebagai “semen perekat” dalam hubungan sosial. Industrialisasi dan Revolusi Perancis telah mengacaubalaukan Rezim Lama serta ikut berkontribusi dalam hancurnya ikatan-ikatan lama yang telah mempersatukan manusia di  antara mereka (Gereja, perserikatan atau korporas dan “aturan” dari Rezim Lama). Yang menghasilkan sebuah masyarakat yang tereduksi menjadi sekumpulan individu. Maka menurut Comte bahwa sekumpulan individu saja tidak cukup untuk membentuk sebuah masyarakat. Comte menyebutkan bahwa di dalam sekumpulan individu-individu tersebut perlu adanya “ikatan organik” yang saling menghubungkan individu menjadi seorang yang “superior”. Sebuah masyarakat merupakan sebuah asosiasi antar manusia yang seharusnya melampaui kepentingan-kepentingan khusus individu yang ada di dalamnya
Berdasar anggapannya tersebut, pada tahun 1874, Comte memproklamaskan terciptanya sebuah “agama kemanusiaan”. Dalam agama itu ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosiallah yang menjadi dogmanya. Para ilmuwan menjadi pendetanya. Tahun-tahun terakhir Comte menjad masa yang semakin lama mengarah ke aliran messianisme, Comte bahkan mendeklaraskan diri sebagai “pemegang kekuasaan tertinggi keuskupan kemanusiaan”.
2. Karl Marx (1818-1883) : Marx dan Sosiologi
Karl Marx sebenarnya bukan merupakan seorang sosiolog. Bahkan istilah sosiologi tidak pernah muncul dalam karya-karyanya. Hal penting dari analisanya tidak hanya yang diakui oleh pengikut “Marxis” saja namun juga oleh para penulis lain seperti Max Weber atau Raymond Aron. Pada tahun 1859 dalam tulisannya Avant-propos de la Critique de l’economie politique ( Pengantar Kritik Ekonomi Politik) Marx membuat ikhtisar tentang “rute perjalanan” intelektual yang menyebabkan ia meninggalkan studi filsafatnya dan mencurahkan diri pada studi ekonomi politik.
Marx kemudian menceritakan bagaimana ia dibimbing untuk meninggalkan ideologi Hegel dan mengadopsi sebuah konsep materialisme sejarah. Selanjutnya ia menggambarkan garis-garis besar pendekatan baru ini. Fundamen dari sebuah masyarakat terletak dalam kehidupan materiilnya. Dengan bekerja manusia menghasilkan (berproduksi) untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat. Jadi, dalam ekonomi politik kita bisa menemukan anatomi masyarakat sipil. Struktur ekonomi masyarakat merupakan pondasi riil sebagai dasar pendirian bangunan yuridis dan politik, serta menjadi jawaban atas bentuk-bentuk kesadaran sosial yang telah ditentukan.
Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, tetapi sebaliknya, eksistensi sosiallah yang menentukan kesadaran mereka. Cara produksi dari sebuah masyarakat berupa tenaga kerja produksi (manusia, mesin, dan teknik) dan hubungan produksi (perbudakan, sistem bagi hasil, sistem kerajinan tangan, bekerja upahan). Cara produksi ini membentuk ‘kaki penopang’ sebagai penyangga superstruktur politik, yuridis, dan ideologis masyarakat. Selama beberapa kali telah terjadi pergantian cara berproduksi, yaitu dari model yang kuno, model Asia, feodalistis dan borjuis. Kemudian pada perkembangan yang menjumpai titik tertentu, tenaga produksi mulai terlibat konflik dengan hubungan produksi. Itu sebabnya maka, dimulailah era revolusi sosial.
Perubahan landasan ekonomi diiringi dengan kekacauan secara cepat atau lambat pada bangunan bentuk yuridis, politik, religius, artistik dan filosofis. Pendekatan bangunan ini adalah bentuk-bentuk ideologi yang di dalamnya manusia memperoleh kesadaran akan konflik tersebut dan akan menekannya sampai ke ujung batas.
Banyak penafsiran dalam memperdebatkan tentang apa yang seharusnya dipahami dari “dasar material masyarakat”, tentang  cara-cara yang dijelaskan melalui “tenaga produksi” dan “hubungan produksi”. Pada naskah ini seringkali tidak tepat dalam menjelaskan, bersifat ambigu dan memiliki begitu banyak variasi. Pada awalnya ia hendak beroposisi terhadap pandangan sejarah idealis, terutama yang berasal dari “pemuda penganut aliran Hegel” yang dikritiknya secara tajam dalam L’Idelohie allemande (1845). Kaum idealis ini menganggap bahwa pemikiran mengatur dunia, oleh karena itu perlu adanya pemikiran-pemikiran yang baru juga. Menghadapi aliran ideologi ini Marx mempertahankan pendapatnya tentang materialisme dalam hal prinsip yang rumusan yang begitu meyakinkan. Kritiknya terhadap Hegelianisme menjatuhkan posisi aliran idealis dan menegaskan adanya konsep materialis di mana masyarakat dianggap sebagai piramida. Bagian terbawah terdiri dari dasar material, ekonomi, kemudian di atasnya terdapat politik dan hukum dan kemudian pemikiran. Bergantinya cara berproduksi ke cara produksi lain menimbulkan kontradiksi-kontradiksi ekonomi, yang menyebabkan adanya pertarungan antar kelas. Dalam manifaste du parti communiste, materialismedianggap tak kenal ampun dan determinisme begitu kuat. Marx menyebutkan bahwa terjadi pengasingan (alienasi) dan menganggap bahwa kerja bukan lagi untuk diri sendiri, melainkan karena adanya tuntutan dari kapitalis. Istilah kerja ini tidak mencakup hanya untuk ekonomi saja tetapi mencakup seluruh tindakan produktif (mengubah dan mengolah alam material untuk tujuan lain). Kerja dianggap sebagi sebuah aktifitas sosial.
Ketika ia menulis tentang adanya transisi dari kapitalisme menuju sosialisme, Marx kemudian mengembangkan sebuah konsep dialektika transformasi sosial. Kapitalisme biasanya tunduk pada kontradiksi-kontradiksi periodik. Dan krisis ini secara tidak langsunng menjadi sebuah hukum. Marx ingin mengemukakan kontradiksi-kontradiksi yang dalam sistem kapitalisme dapat menimbulkan krisis sekaligus menunjukkan bagaimana hukum-hukum itu memang tendensius, dan fenomena yang merupakan hasil pertemuan keduanya kadang menghalangi adanya hukum-hukum perkembangan.
Lebih lanjut lagi bahwa krisis-krisis ini saja tidak cukup untuk menghancurkan sistem ekonomi. Oleh karena itu kaum proletar harus mengorganisasikan diri dan menyerang sistem ini. Pemberontakan saja kurang cukup, kaum proletar harus mengorganisasikan diri menjadi sebuah partai.
Teori Eksploitasi : dunia modern  diperintah oleh logika akumulasi komoditas. Nilai komoditas berasal dari pekerja manusia yang termasuk didalamnya. Kerja juga termasuk komoditas yang memiliki kualitas khusus dan dari kualitas inilah yang akan menghasilkan nilai lebih sehingga tidak dimasukkan dalam harga pembelian.  Sebenarnya kaum kapitalis sama sekali tidak membeli pekerjaan yang dilakukan oleh kaum proletar, tetapi hanya membayar tenaganya untuk bekerja (yang mencari nafkah yang membutuhkannya). Perbedaan nilai antara tenaga kerja dan pekerjaan yang dilakukan menjadi nilai lebih, dan inilah yang menjadi sumber modal (kapital). Modal ini yang harus diciptakan lagi setiap hari dalam hubungan eksploitasi tersebut.
Hukum Teori Kapitalisme: persaingan menyebabkan kaum kapitalis mengakumulasikan modalnya, maksudnya harus menginvestasikan kembali sebagian keuntungan untuk memperbaiki sarana produksi. Dari hukum akumulasi ini Marx menarik kesimpulan adanya beberapa kecenderungan evolusi, antara lain:
  1. Kecenderungan terjadinya mekanisasi produksi yang semakin lama semakin tinggi.
  2. Konsentrasi modal seiring dengan meningkatnya perusahaan dan konsentrasi perusahaan di tangan beberapa orang kapitalis saja.
  3. Peningkatan pengangguran dan penurunan upah relatif yang dianggap Marx sebagai konsekuensi dari akumulasi tersebut. Mesin cenderung hendak menggantikan tempat manusia sehingga menjadi cadangan senjata di bidang industri dan keberadaannya cenderung menekan upah menjadi semakin rendah. Proses pemelaratan yang semakin meningkat ini muncul sebagai hukum umum ekonomi kapitalis.
  4. Hukum penurunan nilai keuntungan yang tendensius berasal dari meningkatnya modal konstan (mesin) yang terkait dengan modal yang berubah-ubah atau modal variabel (para pekerja). Keuntungan (nilai lebih) hanya berasal dari pekerjaan manusia, penurunan nilai terkait dengan jumlah pekerja (jika dikaitkan dengan mesin) yang menyebabkan terjadinya penurunan nilai keuntungan.
Namun demikian pemiskinan ini akan memicu terjadinya pemberontakan massa. Di sini logika ekonomi menyodorkan tempatnya bagi logika sosial, bahwa pemberontakan dilakukan oleh kaum tertindas (proletar) untuk melawan sistem yang diciptakan oleh penguasa (borjuis).
Mekanisme Krisis: eksploitasi dan konsentrasi modal konstan (mesin) menyebabkan adanya peningkatan dalam kapasitas produksi secara terus-menerus, tetapi peningkatan ini dapat menimbulkan kerugian dalam posibilitas konsumsi (melalui penghasilan yang didistribusikan). Dari sinilah merupakan asal krisis kelebihan produksi yang secara tiba-tiba dan secara periodik menandai kapitalisme. Marx menganggap bahwa krisis ini makin lama pasti akan menjadi sebuah krisis yang begitu berat hingga kelak sulit bahkan tidak mungkin dapat teratasi. Dalam teorinya tentang mekanisme krisis ini Marx mengalami kebuntuan sehingga ia tidak pernah tuntas dalam pemahaman teori ini.
  1. Max Weber (1864-1920)
“Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama”
Konsepnya mengenai ilmu pengetahuan sosial yang terungkap dalam Le Savant et le politique (Ilmuwan dan Politik) menunjukkan adanya perbedaan yang radikalantara penilaian terhadap nilai dan juga penilaian terhadap tindakan. Pengetahuan tentang inilah yang akan menjadi dasar dalam nilai-nilai yang memandu politik.
Bagi Weber sosiologi mula-mula dianggap sebagai ilmu pengetahuan tentang tindakan sosial. Ia menolak determinisme dari Karl Marx dan Durkheim yang mengurung manusia dalam sebuah jaring paksaan sosial yang tidak disadari manusia.
Weber menganggap bahwa paksaan dan determinisme itu bersifat relatif. Yang ada bukanlah hukum yang absolut melainkan tendensi-tendensi yang memungkinkan terjadinya suatu kebetulan dan pada keputusan individu. Ia yakin bahwa masyarakat adalah produk dari tindakan individu-individu yang berbuat dalam kerangka fungsi nilai, motif, dan kalkulasi rasional. Jadi menjelaskan tentang sosial berarti harus menyadari cara manusia untuk mengorientasikan tindakannya. Langkah ini disebut dengan sosiologi komprehensif. Yang dimaksud dengan sosiologi menurut Weber adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dengan cara melakukan interpretasi atas aktivitas sosial.
Dengan berbekal perangkat metodologis berupa langkah komprehensif dan metode tipe-ideal, Weber menyadari adanya beragam studi komparatif menyangkut bentuk-bentuk hukum, tipe agama, cara organisasi ekonomi dan politik. Sebuah pertanyaan besar mendominasi  bidang ini, yaitu: “apa hal yang paling menonjol dari masyarkat modern?”
Menurutnya, rasionalisasi kehidupan sosial menjadi ciri yang paling signifikan dalam masyarakat modern. Rasionalisasi yang dimaksud mengenai tiga tipe besar aktivitas manusia, yaitu:
  1. Tindakan tradisional yang terkait dengan adat-istiadat. Aktivitas sehari-hari seperti makan atau cara memberi salam kepada teman merupakan tindakan tradisional.
  2. Tindakan afektif yang digerakkan oleh nafsu. Para rentenir dan para penjudi bergerak dalam level ini.
  3. Tindakan rasional yang merupakan instrumen, ditujukan ke arah nilai atau tujuan yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan dengan cara. Strategi, termasuk dalam level ini, strategi bersifat rasional dalam hal penyesuaian efektivitas tindakan yang lebih baik dan diarahkan ke tujuan materiil atau  diorientasikan lewat nilai-nilai.
Menurut Weber, tindakan rasional menjadi ciri utama dalam masyarakat modern, yaitu mewujudkan dirinya sebagai pengusaha kapitalis, ilmuwan, konsumen atau pegawai yang bekerja atau bertindak sesuai logika. Sekalipun demikian Weber menegaskan bahwa jarang sekali aktivitas sosial yang hanya berorientasi pada salah satu aktivitas saja. Jenis-jenis aktivitas ini hanya berupa tipe-tipe murni yang dibangun untuk tujuan riset sosiologi. Aktivitas riil itu kurang lebih sebanding dan lebih sering untuk berkombinasi. Produktivitas (fecondite), menurutnya menyebabkan munculnya kebutuhan untuk membangun.
Sebenarnya kita dapat menunjukkan bahwa ketiga jenis tindakan tersebut saling berkelindan menjadi satu aktivitas. Dalam karyanya Ethique protestante et l’esprit de capitalisme (Etika Protestan dan Jiwa Kapitalisme) Weber menunjukkan bahwa rasionalisasi tindakan hidup sehari-hari seperti yang dipuji oleh pendiri agama Protestan mendukung perkembangan kapitalisme.
Dalam Economic et Societe Weber membahas berbagai jenis hubungan sosial yang berbeda-beda terutama bentuk-bentuk dominasi politik. Ia memebedakan tiga bentuk ideal tipe dominasi tersebut, yaitu:
  1. Dominasi tradisional yang didasarkan pada legitimasi karena ciri sakralitas tradisi yang melekat padanya. Kekuasaan patriakhis di tengah-tengah kelompok penghuni ruang domestik dan kekuasaan para tuan tanah dalam masyarakat feodal termasuk dalam kategori ini.
  2. Dominasi karismatik yang merupakan dominasi suatu personalitas tertentu dan dikaruniai aura khusus. Pemimpin karismatik mendasarkan kekuasaanya pada kekuatan untuk mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Ketaatan terhadap pemimpin semacam ini terkait dengan faktor-faktor emosional yang berhasil dibangkitkan, dipertahankan dan dikuasainya.
  3. Dominsi legal-rasional yang bertumpu pada kekuatan hukum formal dan impresonal. Dominasi ini terkaut dengan fungsi, dan bukan pada kekuatan sihir. Dominsai rasional atau legal-birokratis ini berlangsung melalui kepatuhan terhadap sebuah kitab hukum fungsional.
Administrasi birokrasi merupakan tipe murni dominasi legal. Kekuatan yang didasarkan pada kompetensi dan bukan pada asal-usul sosial masuk ke dalam bingkai peraturan impersional. Pelaksanaan eksekusi tugas terbagi menjadi beberapa fungsi yang dikhususkan dengan kontur-kontur yang ditentukan secara metodis. Karier diatur dengan kriteria-kriteria kualifikasi dan rentang waktu objektif kedinasan dan sebagainya, dan bukan dengan kriteria yang sifatnya individu.
Weber meyakinkan bahwa cara organisasi ini bukan ciri khas administrasi publik namun merupakan ciri perusahaan kapitalis, bahkan juga terdapat dalam tatanan keagamaan tertentu. Birokrasi ditandai dengan sebuah cara pengaturan dan cara organisasi yang didasarkan pad rasionalisasi pekerjaan sebagaimana yang mulai dipraktikkan. Rasionalisasi ini juga masuk berbagai bentuk pemikiran seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnik. Karakter umu dan usaha meningkatkan tekhnik pemikiran ini mengakhiri dunia mitos dan keyakinan keagamaan. Inilah maksud  rumusan Weber tentang kekecewaan dunia (desenchantemant du monde).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar