Istilah sosiologi muncul pertama kali pada tahun 1839 pada keterangan sebuah paragraf dalam pelajaran ke-47 Cours de la philosophie
(Kuliah Filsafat) karya dari Auguste Comte. Sebelumnya Comte sempat
berpikir untuk memberi nama ilmu pengetahuan masyarakat dengan sebutan
“fisika sosial”, tetapi beberapa bulan sebelumnya seorang dari Belgia
bernama Adolphe Quetelet telah menggunakan nama tersebut untuk menyebut
apa yang sekarang dianggap sebagai demografi.
Oleh karena hal tersebut dengan terpaksa Comte mengurungkan niat
untuk memberi nama “ilmu pengetahuannya” tersebut dengan fisika sosial,
sebagai gantinya Comte menyebutnya sebagai “sosiologi”, yang dibentuk
dari bahasa Latin socius (masyarakat) dan bahasa Yunani logos
(ilmu). Selain hal tersebut, Comte juga yang pertamakali
mengaplikasikan metode ilmiah kedalam ilmu sosial, Comte percaya bahwa
studi sosiologi haruslah ilmiah. Ia memberikan pengaruh yang cukup besar
pada beberapa orang teoretisi sosiologi. Comte hidup pada masa akhir
revolisi Prancis yang didalamnya terdapat serangkaian
pergolakan-pergolakan yang muncul saling berkesinambungan, sehingga
Comte lebih menekankan arti pentingnya keteraturan sosial. Comte merasa
terusik dengan anarki dimasa itu seingga menyebabkan ia lebih kritis
dengan para pemikir yang menumbuhkan revolusi (pencerahan). Comte
mengembangkan pandangan ilmiahnya untuk melawan apa yang secara
destruktif memberikan filsafat negatif dari pencerahan.
Comte dalam pandangannya sejalan dan dipengaruhi oleh pemikir Katolik
kontrarevolusi Prancis seperti de Bonald dan de Maistre. Namun apa yang
dikemukakan oleh Comte memiliki 2 kelebihan, yaitu :
1. Menurut pendapatnya, tidak mungkin untuk kembali lagi ke Zaman
Pertengahan dikarenakan telah berkembangnya secara canggih ilmu
pengetahuan dan industri yang menjadikan hal tersebut mustahil.
2. Comte mengembangkan sistem teoretis yang lebih canggih
(terstruktur dan sistematis) daripada para pendahulunya, yaitu sebuah
sistem teoretis yang cukup untuk membangun sosiologi awal.
Selain hal-hal tersebut, latar belakang lain yang mempengaruhi jalan
pemikiran Comte terhadap pandangannya ialah lahirnya paham yang
dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai
oleh Saint-Simon.
Menurutnya sosiologi akan menjadi sebuah ilmu yang dominan, menelaah
tentang statika (struktur sosial yang ada) dan dinamika sosial (perubaan
sosial). Meskipun keduanya sama-sama melibatkan pencarian hukum-hukum
kehidupan sosial, ia merasa bahwa dinamika sosial lebih penting daripada
statika sosial karena dinamika sosial berisi tentang teori perkembangan
dan kemajuan masyarakat dan dinamika sosial juga merupakan study
tentang sejarah yang akan mengilangkan filsafat yang spekulatif tentang
sejarah itu sendiri. Fokus pada perubahan sosial inilah yang menunjukkan
minatnya kepada reformasi sosial, khususnya reformasi terhadap dampak
negatif yang telah ditimbulkan oleh adanya Revolusi Prancis dan
Pencerahan.
Tetapi dalam pandangannya tersebut Comte tidak menyerukan untuk
perubahan secara Revolusioner, karena ia merasa evolusi alamiahlah yang
dapat merubah masyarakat dan memperbaiki semuanya. Reformasi yang
dibutuhkan hanya sedikit untuk membantu terlaksananya proses ini.
Kemudian melalui pandangan ini Comte mengeluarkan pendekatannya tentang
teori evolusi linier yang disebutnya sebagai hukum tiga tahap, didalam
teori ini tersirat bahwa terdapat tiga tahap intelektual yang secara
pasti akan dilalui oleh ilmu pengetahuan, dunia, individu, masyarakat
dan bahkan pikiran pun ikut turut kedalam teori tiga tahap ini.
Tahap yang pertama ialah tahap Teologis yang merupakan ciri dunia
sebelum tahun 1300. Dalam masa itu, sistem pikiran utama manusia
dititikberatkan pada kepercayaan terhadap kekuatan supranatural dan
figur-figur religius menjadi akar segalanya. Secara khusus, dunia sosial
dan fisik dianggap sebagai dua hal yang dibuat oleh Tuhan. Masa ini
adalah masa kepercayaan magis, percaya pada jimat, roh, dan agama, dunia
dipercayai menuju kepada alam baka, menuju ke pemujaan terhadap nenek
moyang, kemudian menuju ke sebuah dunia dimana “orang mati dianggap
mengatur orang hidup”. Kemudian pada tahap yang kedua ialah tahap
Metafisika. Yang kira-kira berlangsung antara tahun 1300 hingga tahun
1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bawa kekuatan abstrak seperti
‘alam’, dan bukan tuhan yang dipersonalisasikan, diyakini dapat
menjelaskan segalanya. Kepercayaan gaib diganti oleh kekuatan abstrak,
seperti “Alamnya” Spinoza, “Tuhan Geometrinya” Descartes, “Materinya”
Diderot dan juga “Akal sehatnya” Abad Pencerahan. Masa ini dianggap
sebagai masa kemajuan jika dikaitkan dengan pemikiran antropomorfis
sebelumnya, namun demikian pemikiran orang masih dianggap terbelenggu
dalam konsep filosofis yang abstrak dan universal. Orang mengkaitkan
realitas dengan prinsip-prinsip pertama. Ini yang ditulis oleh Comte
sebagai “metode filsuf”. Kemudian, pada jenjang terakhir ialah tahap
positif yaitu pada tahun 1800 yang dicirikan oleh kepercayaan terhadap
ilmu pengetahuan, keadaan intelegensia kita yang telah ‘berani’. Kini
orang lebih cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (Tuhan
atau alam) tetapi lebih berkonsentrasi pada penelitian dunia sosial dan
fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya. Semangat positif
menyingkirkan pencarian menyangkut pertanyaan hakiki “mangapa” yang
terkait dengan segala sesuatu dalam memikirkan tentang perbuatan, yaitu
“hukum-hukum efektif berupa hubungan suksesi dan kesamaan yang tidak
berubah.
Jelas bahwa dalam teorinya tentang dunia, Comte mengedepankan
perhatiannya pada faktor intelektual. Ia menegaskan bahwa kekacauan
intelektuallah yang menjadi dasar dari kekacauan sosial. Kekacauan yang
timbul dari sistem pemikiran sebelumnya (teologis dan metafisis)
kemudian terus muncul pada pada zaman positivistic (ilmiah). Baru
setelah positivism mengambil kendali semauanya, keresahan sosial akan
menurun dan hal tersebut merupakan proses evolusi yang hingga akhirnya
nanti dapat mendatangkan keteraturan dalam dunia sosial. Menurut
pandangananya juga terdapat banyak kekacauan yang terjadi di dunia ini.
Pada banyak kasus, Comte mengemukakan bahwa yang diperlukan adalah
perubahan intelektual, sehingga hanya ada sedikit alasan untuk melakukan
revolusi politik dan sosial.
Secara keseluruhan beberapa pandangan Comte yang penting dalam
perkembangan sosiologi klasik. Landasannya yang begitu konservatif,
reformis, dan ilmiah, dan pandangannya tentang evolusionernya dunia.
Comte ada di garis depan perkembangan sosiologi posivistik,
positivismnya menegaskan bahwa ‘alam semesta sosial bertanggung jawab
atas perkembangan hukum yang dapat diuji dengan pengumpulan data secara
seksama’ dan ‘hukum-hukum abstrak ini akan merujuk pada unsur dasar dan
genetik semesta sosial tersebut dan akan memperlihatkan hubungan
alamiah’. Meskipun positivism tetap penting dalam sosiologi kontemporer,
namun ia telah dicecar dari berbagai arah. Walaupun Comte miskin dari
segi akademis yang kuat bagi terbangunnya mazhab teori sosiologi
Comtian, namun ia telah meletakan dasar bagi perkembangan arus utama
dalam teori sosiologi. Namun signifikansi jangka panjang ini dikerdilkan
oleh penerusnya di sosiologi Prancis, dan pewaris sejumlah gagasanya,
Emile Durkheim maupun teoretis klasik lainnya.
Setelah mengungkapkan prinsip-prinsip postivisme sejak saat itu ia
membuang dasar-dasar organisasi sosial yang pernah dihasilkannya. Mulai
tahun 1845 Comte menghabskan waktunya dengan menulis “sistem politik
positif” yang nantinya bertransformasi menjadi “agama baru”.
Comte mengkritik “semangat teologi” kuno meskipun ia merasa bahwa
agama turut bertanggung jawab sebagai “semen perekat” dalam hubungan
sosial. Industrialisasi dan Revolusi Perancis telah mengacaubalaukan
Rezim Lama serta ikut berkontribusi dalam hancurnya ikatan-ikatan lama
yang telah mempersatukan manusia di antara mereka (Gereja, perserikatan
atau korporas dan “aturan” dari Rezim Lama). Yang menghasilkan sebuah
masyarakat yang tereduksi menjadi sekumpulan individu. Maka menurut
Comte bahwa sekumpulan individu saja tidak cukup untuk membentuk sebuah
masyarakat. Comte menyebutkan bahwa di dalam sekumpulan
individu-individu tersebut perlu adanya “ikatan organik” yang saling
menghubungkan individu menjadi seorang yang “superior”. Sebuah
masyarakat merupakan sebuah asosiasi antar manusia yang seharusnya
melampaui kepentingan-kepentingan khusus individu yang ada di dalamnya
Berdasar anggapannya tersebut, pada tahun 1874, Comte memproklamaskan
terciptanya sebuah “agama kemanusiaan”. Dalam agama itu ilmu
pengetahuan khususnya ilmu sosiallah yang menjadi dogmanya. Para ilmuwan
menjadi pendetanya. Tahun-tahun terakhir Comte menjad masa yang semakin
lama mengarah ke aliran messianisme, Comte bahkan mendeklaraskan diri
sebagai “pemegang kekuasaan tertinggi keuskupan kemanusiaan”.
2. Karl Marx (1818-1883) : Marx dan Sosiologi
2. Karl Marx (1818-1883) : Marx dan Sosiologi
Karl Marx sebenarnya bukan merupakan seorang sosiolog. Bahkan istilah
sosiologi tidak pernah muncul dalam karya-karyanya. Hal penting dari
analisanya tidak hanya yang diakui oleh pengikut “Marxis” saja namun
juga oleh para penulis lain seperti Max Weber atau Raymond Aron. Pada
tahun 1859 dalam tulisannya Avant-propos de la Critique de l’economie politique
( Pengantar Kritik Ekonomi Politik) Marx membuat ikhtisar tentang “rute
perjalanan” intelektual yang menyebabkan ia meninggalkan studi
filsafatnya dan mencurahkan diri pada studi ekonomi politik.
Marx kemudian menceritakan bagaimana ia dibimbing untuk meninggalkan
ideologi Hegel dan mengadopsi sebuah konsep materialisme sejarah.
Selanjutnya ia menggambarkan garis-garis besar pendekatan baru ini.
Fundamen dari sebuah masyarakat terletak dalam kehidupan materiilnya.
Dengan bekerja manusia menghasilkan (berproduksi) untuk dirinya sendiri
dan untuk masyarakat. Jadi, dalam ekonomi politik kita bisa menemukan
anatomi masyarakat sipil. Struktur ekonomi masyarakat merupakan pondasi
riil sebagai dasar pendirian bangunan yuridis dan politik, serta menjadi
jawaban atas bentuk-bentuk kesadaran sosial yang telah ditentukan.
Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, tetapi
sebaliknya, eksistensi sosiallah yang menentukan kesadaran mereka. Cara
produksi dari sebuah masyarakat berupa tenaga kerja produksi (manusia,
mesin, dan teknik) dan hubungan produksi (perbudakan, sistem bagi hasil,
sistem kerajinan tangan, bekerja upahan). Cara produksi ini membentuk
‘kaki penopang’ sebagai penyangga superstruktur politik, yuridis, dan
ideologis masyarakat. Selama beberapa kali telah terjadi pergantian cara
berproduksi, yaitu dari model yang kuno, model Asia, feodalistis dan
borjuis. Kemudian pada perkembangan yang menjumpai titik tertentu,
tenaga produksi mulai terlibat konflik dengan hubungan produksi. Itu
sebabnya maka, dimulailah era revolusi sosial.
Perubahan landasan ekonomi diiringi dengan kekacauan secara cepat
atau lambat pada bangunan bentuk yuridis, politik, religius, artistik
dan filosofis. Pendekatan bangunan ini adalah bentuk-bentuk ideologi
yang di dalamnya manusia memperoleh kesadaran akan konflik tersebut dan
akan menekannya sampai ke ujung batas.
Banyak penafsiran dalam memperdebatkan tentang apa yang seharusnya
dipahami dari “dasar material masyarakat”, tentang cara-cara yang
dijelaskan melalui “tenaga produksi” dan “hubungan produksi”. Pada
naskah ini seringkali tidak tepat dalam menjelaskan, bersifat ambigu dan
memiliki begitu banyak variasi. Pada awalnya ia hendak beroposisi
terhadap pandangan sejarah idealis, terutama yang berasal dari “pemuda
penganut aliran Hegel” yang dikritiknya secara tajam dalam L’Idelohie allemande
(1845). Kaum idealis ini menganggap bahwa pemikiran mengatur dunia,
oleh karena itu perlu adanya pemikiran-pemikiran yang baru juga.
Menghadapi aliran ideologi ini Marx mempertahankan pendapatnya tentang
materialisme dalam hal prinsip yang rumusan yang begitu meyakinkan.
Kritiknya terhadap Hegelianisme menjatuhkan posisi aliran idealis dan
menegaskan adanya konsep materialis di mana masyarakat dianggap sebagai
piramida. Bagian terbawah terdiri dari dasar material, ekonomi, kemudian
di atasnya terdapat politik dan hukum dan kemudian pemikiran.
Bergantinya cara berproduksi ke cara produksi lain menimbulkan
kontradiksi-kontradiksi ekonomi, yang menyebabkan adanya pertarungan
antar kelas. Dalam manifaste du parti communiste,
materialismedianggap tak kenal ampun dan determinisme begitu kuat. Marx
menyebutkan bahwa terjadi pengasingan (alienasi) dan menganggap bahwa
kerja bukan lagi untuk diri sendiri, melainkan karena adanya tuntutan
dari kapitalis. Istilah kerja ini tidak mencakup hanya untuk ekonomi
saja tetapi mencakup seluruh tindakan produktif (mengubah dan mengolah
alam material untuk tujuan lain). Kerja dianggap sebagi sebuah aktifitas
sosial.
Ketika ia menulis tentang adanya transisi dari kapitalisme menuju
sosialisme, Marx kemudian mengembangkan sebuah konsep dialektika
transformasi sosial. Kapitalisme biasanya tunduk pada
kontradiksi-kontradiksi periodik. Dan krisis ini secara tidak langsunng
menjadi sebuah hukum. Marx ingin mengemukakan kontradiksi-kontradiksi
yang dalam sistem kapitalisme dapat menimbulkan krisis sekaligus
menunjukkan bagaimana hukum-hukum itu memang tendensius, dan fenomena
yang merupakan hasil pertemuan keduanya kadang menghalangi adanya
hukum-hukum perkembangan.
Lebih lanjut lagi bahwa krisis-krisis ini saja tidak cukup untuk
menghancurkan sistem ekonomi. Oleh karena itu kaum proletar harus
mengorganisasikan diri dan menyerang sistem ini. Pemberontakan saja
kurang cukup, kaum proletar harus mengorganisasikan diri menjadi sebuah
partai.
Teori Eksploitasi : dunia modern diperintah oleh logika akumulasi
komoditas. Nilai komoditas berasal dari pekerja manusia yang termasuk
didalamnya. Kerja juga termasuk komoditas yang memiliki kualitas khusus
dan dari kualitas inilah yang akan menghasilkan nilai lebih sehingga
tidak dimasukkan dalam harga pembelian. Sebenarnya kaum kapitalis sama
sekali tidak membeli pekerjaan yang dilakukan oleh kaum proletar, tetapi
hanya membayar tenaganya untuk bekerja (yang mencari nafkah yang
membutuhkannya). Perbedaan nilai antara tenaga kerja dan pekerjaan yang
dilakukan menjadi nilai lebih, dan inilah yang menjadi sumber modal
(kapital). Modal ini yang harus diciptakan lagi setiap hari dalam
hubungan eksploitasi tersebut.
Hukum Teori Kapitalisme: persaingan menyebabkan kaum kapitalis
mengakumulasikan modalnya, maksudnya harus menginvestasikan kembali
sebagian keuntungan untuk memperbaiki sarana produksi. Dari hukum
akumulasi ini Marx menarik kesimpulan adanya beberapa kecenderungan
evolusi, antara lain:
- Kecenderungan terjadinya mekanisasi produksi yang semakin lama semakin tinggi.
- Konsentrasi modal seiring dengan meningkatnya perusahaan dan konsentrasi perusahaan di tangan beberapa orang kapitalis saja.
- Peningkatan pengangguran dan penurunan upah relatif yang dianggap Marx sebagai konsekuensi dari akumulasi tersebut. Mesin cenderung hendak menggantikan tempat manusia sehingga menjadi cadangan senjata di bidang industri dan keberadaannya cenderung menekan upah menjadi semakin rendah. Proses pemelaratan yang semakin meningkat ini muncul sebagai hukum umum ekonomi kapitalis.
- Hukum penurunan nilai keuntungan yang tendensius berasal dari meningkatnya modal konstan (mesin) yang terkait dengan modal yang berubah-ubah atau modal variabel (para pekerja). Keuntungan (nilai lebih) hanya berasal dari pekerjaan manusia, penurunan nilai terkait dengan jumlah pekerja (jika dikaitkan dengan mesin) yang menyebabkan terjadinya penurunan nilai keuntungan.
Namun demikian pemiskinan ini akan memicu terjadinya pemberontakan
massa. Di sini logika ekonomi menyodorkan tempatnya bagi logika sosial,
bahwa pemberontakan dilakukan oleh kaum tertindas (proletar) untuk
melawan sistem yang diciptakan oleh penguasa (borjuis).
Mekanisme Krisis: eksploitasi dan konsentrasi modal konstan (mesin)
menyebabkan adanya peningkatan dalam kapasitas produksi secara
terus-menerus, tetapi peningkatan ini dapat menimbulkan kerugian dalam
posibilitas konsumsi (melalui penghasilan yang didistribusikan). Dari
sinilah merupakan asal krisis kelebihan produksi yang secara tiba-tiba
dan secara periodik menandai kapitalisme. Marx menganggap bahwa krisis
ini makin lama pasti akan menjadi sebuah krisis yang begitu berat hingga
kelak sulit bahkan tidak mungkin dapat teratasi. Dalam teorinya tentang
mekanisme krisis ini Marx mengalami kebuntuan sehingga ia tidak pernah
tuntas dalam pemahaman teori ini.
- Max Weber (1864-1920)
“Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama”
Konsepnya mengenai ilmu pengetahuan sosial yang terungkap dalam Le
Savant et le politique (Ilmuwan dan Politik) menunjukkan adanya
perbedaan yang radikalantara penilaian terhadap nilai dan juga penilaian
terhadap tindakan. Pengetahuan tentang inilah yang akan menjadi dasar
dalam nilai-nilai yang memandu politik.
Bagi Weber sosiologi mula-mula dianggap sebagai ilmu pengetahuan
tentang tindakan sosial. Ia menolak determinisme dari Karl Marx dan
Durkheim yang mengurung manusia dalam sebuah jaring paksaan sosial yang
tidak disadari manusia.
Weber menganggap bahwa paksaan dan determinisme itu bersifat relatif.
Yang ada bukanlah hukum yang absolut melainkan tendensi-tendensi yang
memungkinkan terjadinya suatu kebetulan dan pada keputusan individu. Ia
yakin bahwa masyarakat adalah produk dari tindakan individu-individu
yang berbuat dalam kerangka fungsi nilai, motif, dan kalkulasi rasional.
Jadi menjelaskan tentang sosial berarti harus menyadari cara manusia
untuk mengorientasikan tindakannya. Langkah ini disebut dengan sosiologi
komprehensif. Yang dimaksud dengan sosiologi menurut Weber adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha memahami dengan cara melakukan interpretasi
atas aktivitas sosial.
Dengan berbekal perangkat metodologis berupa langkah komprehensif dan
metode tipe-ideal, Weber menyadari adanya beragam studi komparatif
menyangkut bentuk-bentuk hukum, tipe agama, cara organisasi ekonomi dan
politik. Sebuah pertanyaan besar mendominasi bidang ini, yaitu: “apa
hal yang paling menonjol dari masyarkat modern?”
Menurutnya, rasionalisasi kehidupan sosial menjadi ciri yang paling
signifikan dalam masyarakat modern. Rasionalisasi yang dimaksud mengenai
tiga tipe besar aktivitas manusia, yaitu:
- Tindakan tradisional yang terkait dengan adat-istiadat. Aktivitas sehari-hari seperti makan atau cara memberi salam kepada teman merupakan tindakan tradisional.
- Tindakan afektif yang digerakkan oleh nafsu. Para rentenir dan para penjudi bergerak dalam level ini.
- Tindakan rasional yang merupakan instrumen, ditujukan ke arah nilai atau tujuan yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan dengan cara. Strategi, termasuk dalam level ini, strategi bersifat rasional dalam hal penyesuaian efektivitas tindakan yang lebih baik dan diarahkan ke tujuan materiil atau diorientasikan lewat nilai-nilai.
Menurut Weber, tindakan rasional menjadi ciri utama dalam masyarakat
modern, yaitu mewujudkan dirinya sebagai pengusaha kapitalis, ilmuwan,
konsumen atau pegawai yang bekerja atau bertindak sesuai logika.
Sekalipun demikian Weber menegaskan bahwa jarang sekali aktivitas sosial
yang hanya berorientasi pada salah satu aktivitas saja. Jenis-jenis
aktivitas ini hanya berupa tipe-tipe murni yang dibangun untuk tujuan
riset sosiologi. Aktivitas riil itu kurang lebih sebanding dan lebih
sering untuk berkombinasi. Produktivitas (fecondite), menurutnya menyebabkan munculnya kebutuhan untuk membangun.
Sebenarnya kita dapat menunjukkan bahwa ketiga jenis tindakan
tersebut saling berkelindan menjadi satu aktivitas. Dalam karyanya
Ethique protestante et l’esprit de capitalisme (Etika Protestan
dan Jiwa Kapitalisme) Weber menunjukkan bahwa rasionalisasi tindakan
hidup sehari-hari seperti yang dipuji oleh pendiri agama Protestan
mendukung perkembangan kapitalisme.
Dalam Economic et Societe Weber membahas berbagai jenis
hubungan sosial yang berbeda-beda terutama bentuk-bentuk dominasi
politik. Ia memebedakan tiga bentuk ideal tipe dominasi tersebut, yaitu:
- Dominasi tradisional yang didasarkan pada legitimasi karena ciri sakralitas tradisi yang melekat padanya. Kekuasaan patriakhis di tengah-tengah kelompok penghuni ruang domestik dan kekuasaan para tuan tanah dalam masyarakat feodal termasuk dalam kategori ini.
- Dominasi karismatik yang merupakan dominasi suatu personalitas tertentu dan dikaruniai aura khusus. Pemimpin karismatik mendasarkan kekuasaanya pada kekuatan untuk mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Ketaatan terhadap pemimpin semacam ini terkait dengan faktor-faktor emosional yang berhasil dibangkitkan, dipertahankan dan dikuasainya.
- Dominsi legal-rasional yang bertumpu pada kekuatan hukum formal dan impresonal. Dominasi ini terkaut dengan fungsi, dan bukan pada kekuatan sihir. Dominsai rasional atau legal-birokratis ini berlangsung melalui kepatuhan terhadap sebuah kitab hukum fungsional.
Administrasi birokrasi merupakan tipe murni dominasi legal. Kekuatan
yang didasarkan pada kompetensi dan bukan pada asal-usul sosial masuk ke
dalam bingkai peraturan impersional. Pelaksanaan eksekusi tugas terbagi
menjadi beberapa fungsi yang dikhususkan dengan kontur-kontur yang
ditentukan secara metodis. Karier diatur dengan kriteria-kriteria
kualifikasi dan rentang waktu objektif kedinasan dan sebagainya, dan
bukan dengan kriteria yang sifatnya individu.
Weber meyakinkan bahwa cara organisasi ini bukan ciri khas
administrasi publik namun merupakan ciri perusahaan kapitalis, bahkan
juga terdapat dalam tatanan keagamaan tertentu. Birokrasi ditandai
dengan sebuah cara pengaturan dan cara organisasi yang didasarkan pad
rasionalisasi pekerjaan sebagaimana yang mulai dipraktikkan.
Rasionalisasi ini juga masuk berbagai bentuk pemikiran seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnik. Karakter umu dan usaha
meningkatkan tekhnik pemikiran ini mengakhiri dunia mitos dan keyakinan
keagamaan. Inilah maksud rumusan Weber tentang kekecewaan dunia
(desenchantemant du monde).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar