script src="http://raxterblog.googlecode.com/files/bintangberjatuhan.js">

Minggu, 24 Maret 2013

Pengertian Manajemen Proyek dan Resiko

Definisi dari manajemen proyek yaitu penerapan ilmu pengetahuan, keahlian dan ketrampilan, cara teknis yang terbaik dan dengan sumber daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan agar mendapatkan hasil yang optimal dalam hal kinerja, waktu, mutu dan keselamatan kerja. Dalam manajemen proyek, perlunya pengelolaan yang baik dan terarah karena suatu proyek memiliki keterbatasan sehingga tujuan akhir dari suatu proyek bisa tercapai. Yang perlu dikelola dalam area manajemen proyek yaitu biaya, mutu, waktu, kesehatan dan keselamatan kerja, sumberdaya, lingkungan, resiko dan sistem informasi.
Ada tiga garis besar  untuk menciptakan berlangsungnya sebuah proyek, yaitu :
  1. Perencanaan
  2. Untuk mencapai tujuan, sebuah proyek perlu suatu perencanaan yang matang. Yaitu dengan meletakkan dasar tujuan dan sasaran dari suatu proyek sekaligus menyiapkan segala program teknis dan administrasi agar dapat diimplementasikan.Tujuannya agar memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditentukan dalam batasan waktu, mutu, biaya dan keselamatan kerja. Perencanaan proyek dilakukan dengan cara studi kelayakan, rekayasa nilai, perencanaan area manajemen proyek (biaya, mutu, waktu, kesehatan dan keselamatan kerja, sumberdaya, lingkungan, resiko dan sistem informasi.).
  3. Penjadwalan
  4. Merupakan implementasi dari perencanaan yang dapat memberikan informasi tentang jadwal rencana dan kemajuan proyek yang meliputi sumber daya (biaya, tenaga kerja, peralatan, material), durasi  dan progres waktu untuk menyelesaikan proyek. Penjadwalan proyek mengikuti perkembangan proyek dengan berbagai permasalahannya. Proses monitoring dan updating selalu dilakukan untuk mendapatkan penjadwalan yang realistis agar sesuai dengan tujuan proyek. Ada beberapa metode untuk mengelola penjadwalan proyek, yaitu Kurva S (hanumm Curve), Barchart, Penjadwalan Linear (diagram Vektor), Network Planning dan waktu dan durasi kegiatan. Bila terjadi penyimpangan terhadap rencana semula, maka dilakukan evaluasi dan tindakan koreksi agar proyek tetap berada dijalur yang diinginkan.
  5. Pengendalian Proyek
  6. Pengendalian mempengaruhi hasil akhir suatu proyek. Tujuan utama dari utamanya yaitu meminimalisasi segala penyimpangan yang dapat terjadi selama berlangsungnya proyek. Tujuan dari pengendalian proyek yaitu optimasi kinerja biaya, waktu , mutu dan keselamatan kerja harus memiliki kriteria sebagai tolak ukur. Kegiatan yang dilakukan dalam proses pengendalian yaitu berupa pengawasan, pemeriksaan, koreksi yang dilakukan selama proses implementasi.
Manajemen Resiko

Definisi Manajemen resiko adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk: P enilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumberdaya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum. Manajemen risiko keuangan, di sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan instrumen-instrumen keuangan.
Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah untuk mengurangi risiko yang berbeda-beda yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia, organisasi dan politik. Di sisi lain pelaksanaan risk manajemen melibatkan segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen risiko (manusia, staff, dan organisasi).
Dalam menghadapi risiko, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda. Ada beberapa cara pengelolaan risiko yang
bisa kita gunakan untuk mengendalikan tingkat risiko financial yang dihadapi, yaitu :
1.Menghindari Risiko (Avoiding Risk)
Cara pengelolaan risiko yang paling mudah dilakukan adalah menghindari risiko sama sekali.
Contoh : untuk menghindari risiko jatuh sakit, maka seseorang akan menjaga stamina tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, berolah raga secara teratur dan tidak merokok serta tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
2. Mengendalikan Risiko (Controlling Risk)
Kita dapat berusaha mengendalikan risiko dengan mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah dan mengurangi risiko tersebut.
Contoh : untuk mengurangi risiko kecelakaan saat membawa kendaraan, maka seseorang akan memastikan bahwa kondisi ban, rem, kopling dan mesin dalam keadaan baik, memakai pengaman, berhati-hati
dan mematuhi rambu lalu lintas.
3. Menerima Risiko (Accepting Risk)
Secara sederhana menerima risiko sama dengan menanggung seluruh tanggung jawab financial atas risiko yang terjadi tersebut.
Contoh 1 : seseorang tidak mengasuransikan rumahnya terhadap risiko kebakaran, dan akan bersedia menanggung kerugian jika terjadi risiko kebakaran terhadap rumahnya.
Contoh 2 : seseorang tidak mengasuransikan kendaraannya terhadap risiko kecelakaan, dan akan bersedia menanggung kerugian jika terjadi risiko kecelakaan terhadap kendaraannya.
Contoh 3 : seseorang tidak mengasuransikan jiwa & raganya terhadap risiko kesehatan, dan akan bersedia
menanggung kerugian jika terjadi risiko kesehatan terhadap jiwa & raganya.
4. Mengalihkan Resiko (Transfering Risk)
Apabila seseorang mengalihkan risiko ke pihak lain, maka ia mengalihkan tanggung jawab financial atas risiko tersebut ke pihak lain, yang umumnya atas dasar pemberian imbalan. Cara yang paling umum bagi seseorang, keluarga atau perusaaan untuk mengalihkan risiko adalah dengan membeli pertanggungan asuransi.
Risiko kerugian financial tersebut:
dialihkan ke perusahaan asuransi, dan apabila terjadi sesuatu kerugian yang spesifik, perusahaan asuransi tersebut akan membayarkan sejumlah uang, asalkan perusahaan asuransi tersebut telah menerima sejumlah uang, yang disebut sebagai premi.
 
Contoh management proyek & resiko :
1. Proyek Pembuatan Jalan Tol
Proyek pembuatan jalan tol ini termasuk proyek yang besar. Proyek jalan tol ini dibuat untuk menanggulangi kemacetan walaupun sampai sekarang belum maksimal juga mengatasi kemacetan. Salah satu proyek pembuatan jalan tol yaitu jalan tol padaleunyi, jalan tol ini harus dibuat dengan perhitungan yang benar karena struktur tanah yang labil dan mudah longsor dan jalannya pun yang naik turun. Resiko proyek ini yaitu jika perhitungannya tidak benar atau tanah yang berada di bawahnya longsor akan terjadi amblesnya jalan tol tersebut dan mengakibatkan kecelakaan.
2. Proyek Pembuatan Jembatan
Proyek pembuatan jembatan ini termasuk proyek yang besar. Proyek pembuatan jembatan ini dibuat untuk menyebrangi kali atau sungai dan laut. Salah satu contohnya pembuatan jembatan Suramadu, jembatan ini adalah jembatan untuk menyebrangi laut dari Surabaya ke Madura maupun sebaliknya, jembatan ini harus dirancang dengan baik dan diperhitunkan dengan benar dan harus dengan bahan-bahan yang bagus dan juga harus dikerjakan dengan orang-orang terbaik. Resiko proyek ini adalah jika ada baut yang ilang atau bahan bahan yang tidak bagus maka jembatan akan rubuh

Pengertian dan Ruang Lingkup Ekonomi Sosial

Pengertian dan Ruang Lingkup Ekonomi Sosial

 1. Ilmu alamiah adalah ilmu yang mempelajari tentang alam, yang berhubungan lingkungan alam seperti fisika, kimia, biologi,astronomi, botani dll.
2. Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari sosial manusia di lingkungan sekitar seperti sosiologi, ekonomi, politik, antropologi sejarah, psikologi, geogrofi dll.
3. Ilmu budaya adalah ilmu yang mempelajari adat istiadat atau kebiasaan hidup manusia di suatu wilayah seperti bahasa, agama, kesusastraan, kesenian dll.

Dari perkembangan ilmu sosial timbul paham study sosial yang disebut ilmu pengetahuan sosial. IPS adalah bidang studi yang merupakan paduan dari sejumlah mata pelajaran sosial. Yang termaksud pada pelajaran IPS, yaitu geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi dll.

ISD adalah gabungan dari disiplin ilmu sosial yang digunakan dalam pendekatan dan pemecahan masalah sosial yang ada di lingkungan sekitar kita. ISD memberikan dasar – dasar pengetahuan tentang konsep untuk mengkaji gejala sosial.

2. Latar belakang ilmu sosial dasar

Latar belakang diberikannya mata kuliah ISD di perguruan tinggi, karena :

1. Banyaknya kritik yang ditunjukkan pada sistem pendidikan di perguruan tinggi bahwa sistem pendidikan yang diberikan masih berbau kolonial dan warisan sistem pendidikan pemerintah Belanda. Yang pendidikannya bertujuan untuk menghasilkan tenaga terampil untuk menjadi tukang yang mengisi birokrasi mereka.
2. Sistem pendidikannya masih tidak mengenali dimensi – dimensi lain di luar disiplin keilmuannya. Perguruan tinggi dianggap seolah – olah tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya sertak perkembangan masyarakat.

Sedangkan tenaga ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi diharapkan mempunyai tiga kemampuan, yaitu personal, akademis dan profesional.

1. Kemampuan personal

Tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga menunjukkan sikap yang mencerminkan kepribadian Indonesia, mengenal dan memahami nilai agama, masyarakat, pancasila serta pandangan luas terhadap berbagai masalah masyarakat Indonesia.

1. Kemampuan akademik

Kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan dan mampu berpikir logis, kritis, sistematis dan analitis. Memiliki kemampuan untuk mengedintifikasi dan merumuskan masalah yang sedang dihadapi.

1. Kemampuan profesional

Kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan. Dan mereka diharapkan memiliki kemampuan dan keterampilan yang tinggi dalam profesinya.

1. Ilmu sosial dasar sebagai komonen MKDU

Diantara 3 kemampuan diatas yang diharapkan untuk dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon tenaga ahli adalah kemampuan personal dan ditanamkan pada mata kuliah dasar umum. MKDU bertujuan untuk memperluas pengetahuan agar mahasiswa tidak terbatas pada bidang keahlian masing – masing, tetapi dapat membantu dirinya sendiri dan menempatkan diri dalam perkembangan masyarakat. MKDU terdiri dari 6 mata kuliah, yaitu :

1. Agama
2. Pancasila
3. Kewiraan
4. Ilmu alamiah dasar
5. Ilmu sosial dasar
6. Ilmu budaya dasar

Tujuan ilmu sosial dasar adalah membantu perkembangan pikir mahasiswa dan kepribadian agar memperoleh wawasan yang lebih luas dan ciri kepribadian yang diharapkan dari setiap golongan terpelajar Indonesia

4. Ruang lingkup pembahasan

Ada 2 masalah yang dipakai sebagai pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup pembahasan mata kuliah ISD.

1. Berbagai aspek yang merupakan suatu masalah sosial yang dapat ditanggapi dengan pendekatan sendiri atau pendekatan gabungan antar bidang.
2. Adanya keragaman golongan dan kesatuan sosial lain dalam masyarakat.

Berdasarkan ruang lingkup di atas masih perlu penjabaran untuk bisa dioperasionalkan ke pokok bahasan dan sub pokok bahasan. Yaitu :

1. Mempelajarai adanya berbagai masalah kependudukan dan hubungan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan.
2. Mempelajari adanya masalah individu dan masyarakat.
3. Mengkaji masalah kependudukan dan sosialisasi.
4. Mempelajari hubungan antar warga negara dan negara.
5. Mempelajari hubungan antara pelapisan sosial dan persamaan derajat.
6. Mempelajari masalah yang dihadapi masyarakat pedesaan.

5. Masalah sosial dan ilmu sosial dasar

Masalah yang dihadapi tidaklah sama, disebabkan karena perbedaan tingkat perkembangan kebudayaan masyarakat dan keadaan lingkungan alam. Masalah tersebut dapat berupa sosial, politik, moral dll. Yang membedakan masalah ini ada hubungannya dengan nilai moral dan pranata sosial.

1. Menurut masyarakat, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umumadalah masalah sosial.
2. Menurut para ahli, suatu kondisi yang terwujud dalam masyarakat berdasarkan atas studi, mempunyai sifat yang menimbulkan kekacauan.

Masalah sosial muncul sejak peradaban manusia karena dianggap mengganggu kesejahteraan hidup. Dan membuat masyarakat untuk mengedintifikasi, menganalisa cara untuk mengatasinya.

ISD menyajikan pemahaman mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan masalahnya dengan menggunakan kerangka pendekatan. Dengan menggunakan kacamata obyektif berarti, konsep dan teori yang berhubungan dengan hakikat manusia dan masalahnya telah dikembangkan dalam ilmu sosial dan digunakan. Sedangkan menurut kacamata subyektif masalah yang dibahas akan dikaju menurut perspektif masyarakat yang bersangkutan.

Perkembangan Ilmu Sosiologi

Kapankah sosiologi lahir?
sosiologi lahir sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, baru muncul pada abad ke- 19, yang dipopulerkan oleh seorang filosof Prancis yang bernama Auguste Comte (1798–1857).
Di dalam bukunya Course De Philosophie Positive, ia menjelaskan bahwa untuk mempelajari masyarakat harus melalui urutan-urutan tertentu, yang kemudian akan sampai pada tahap akhir yaitu tahap ilmiah.
Gagasan Comte mendapat sambutan luas, terbukti dengan munculnya sejumlah ilmuwan di bidang sosiologi. Mereka antara lain, Pitirim A. Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber.
Mereka semua berjasa dengan memperkenalkan berbagai pendekatan untuk mempelajari masyarakat yang sangat berguna bagi perkembangan sosiologi.
Pendekatan yang mereka kemukana adalah sebagai berikut:
  1. Herbert Spencer, mempekenalkan pendekatan analogi organik.
  2. Karl Marx, memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis.
  3. Emile Durkheim, memperkenalkan pendekatan fakta sosial.
  4. Max Weber,, memperkenalkan pendekatan tindakan sosial.
Sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial. Adapun yang dimaksud dengan ilmu sosial ialah keseluruhan disiplin ilmu yang berhubungan dengan manusia, yang di dalamnya terdapat unsur dalam membentuk kehidupan masyarakat dan budaya
Pada awalnya sosiologi merupakan bagian dari filsafat sosial. Hal ini disebabkan karena pada saat itu pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa.
Latar belakang sosial lahirnya sosiologi adalah perubahan masyarakat di Eropa Barat akibat revolusi industri di Inggris dan revolusi Prancis yang berlangsung pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Jika pada masa feodalisme sebelum revolusi Prancis masyarakat terkotak-kotak dalam lapisan-lapisan sosial yang sangat membatasi ruang bagi lapisan sosial yang lebih rendah, setelah revolusi diharapkan semuanya bisa berubah.
Akan tetapi, apa yang diharapkan masyarakat tidak menjadi kenyataan. Dalam masyarakat timbul anarki (situasi tanpa aturan) dan kekacauan yang lebih besar setelah revolusi Prancis. Di samping itu, timbul kesenjangan sosial antara golongan kaya dengan golongan miskin. Kelas-kelas sosial bukannya dihapus, melainkan semakin nyata.
Atas dasar ini, Comte menyarankan agar penelitian tentang masyarakat perlu ditingkatkan menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri dengan penelitiannya yang didasarkan pada metode ilmiah. Dari sinilah lahir sosiologi sebagai ilmu yang paling muda dalam ilmu-ilmu sosial
Istilah sosiologi dipopulerkan Comte dalam bukunya yang berjudul Cours de Philosophie Positive (1830), yang dalam buku tersebut dijelaskan bahwa objek sosiologi adalah manusia atau masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, Auguste Comte bisa dikategorikan sebagai salah satu pendiri sosiologi sehingga dikenal sebagai Bapak Sosiologi.
Apakah sosiologi merupakan ilmu pengetahuan?
Sebuah pengetahuan dikatakan sebagai ilmu apabila mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkan pada penelitian ilmiah.
Sebuah pengetahuan dikatakan sebagai ilmu apabila mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkan pada penelitian ilmiah.
Sumber ilmu pengetahuan adalah philosophia (filsafat). Dari filsafat itu lahir tiga cabang ilmu pengetahuan, yaitu:
  1. Natural Sciences (ilmu-ilmu alamiah), seperti: fisika, kimia, biologi, botani, astronomi, dan sebagainya.
  2. Social Sciences (ilmu-ilmu sosial), seperti: sosiologi, ekonomi, politik, sejarah, antropologi, psikologi sosial, dan sebagai-nya.
  3. Humanities (ilmu-ilmu budaya), seperti: bahasa, agama, kesu-sastraan, kesenian, dan sebagainya.
Sosiologi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Empiris, yaitu penelitiannya tentang masyarakat didasarkan pada hasil observasi (pengalaman).
  2. Teoretis, dibangun dari konsep-konsep hasil observasi dan logis serta memiliki tujuan untuk menjelaskan hubungan sebab–akibat.
  3. Kumulatif, yang teorinya dibangun berdasarkan teori-teori sebelumnya dengan tujuan memperbaiki, memperluas, dan memperhalus teori lama.
  4. Nonetis, dilakukan bukan untuk mencari baik buruknya suatu fakta, melainkan menjelaskannya secara analitis.
Dengan ciri-ciri tersebut maka sosiologi memenuhi kriteria keilmuan. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan. Secara ringkas konsep-konsep dasar sosiologi yang di masyarakat ialah :
a.       Perubahan sosial
b.      Ketertiban dan Pengendalian sosial
c.       Sosialisasi
d.      Organisasi Sosial
e.       Mobilitas sosial
f.       Masalah-masalah Sosial.

Teori Sosiologi Klasik

eori sederhana biasanya selalu terungkap di dalam kehidupan kita sehari-hari. Sering kali tanpa sadar kita sesungguhnya telah berteori. Teori muncul karena adanya suatu kebutuhan manusia untuk memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada. Teori lahir karena manusia membutuhkan pengetahuan.
Secara kategoris dapat dikatakan bahwa pengetahuan terdiri atas unsur experiental reality dan agreement reality. Experiental realitiy adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar pengalaman kita sehari-hari, sedangkan agreement reality adalah pengetahuan yang kita dapat berdasar kesepakatan bersama.
Jika dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mendapatkan pengetahuan dari salah satu unsur yang ada, maka dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan didapat dengan mengombinasikan kedua unsur tersebut. Dalam ilmu pengetahuan, pengembangan pengetahuan dilakukan bukan hanya dari pengamatan langsung pada kenyataan, namun melalui proses pengujian dalam pikiran manusia sendiri. Dalam konteks sosiologi, teori diklasifikasi ke dalam tiga paradigma utama, yaitu order paradigm, pluralist paradigm, serta conflict paradigm. Perbedaan dari masing-masing paradigma dilandaskan pada asumsi dasar yang menyertainya dalam hal hakikat dasar manusia, masyarakat, serta ilmu pengetahuan.

Konstruksi Teori
Teori terbentuk berdasar beberapa komponen, yaitu konsep, variabel, serta indikator. Teori sendiri diartikan sebagai sejumlah pernyataan yang terangkai secara sistematis, dan dapat digunakan untuk memberikan penjelasan tentang suatu fenomena atau gejala. Komponen yang ada dengan demikian terangkai di dalam pernyataan. Konsep diartikan sebagai lambang, simbol atau kata yang berarti tentang sesuatu.
Konsep ada yang memiliki unidimensional (dimensi tunggal) dan ada yang multidimensional. Dengan beragamnya konsep, maka perlu adanya definisi dari konsep, yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam definisi konsep tersebut terkandung dimensi konsep dan juga kelompok konsep (concept cluster). Variabel adalah konsep yang telah memiliki variasi nilai. Variasi nilai dari konsep tersebut kita sebut sebagai kategori. Variabel adalah konsep yang sudah terukur dan bersifat lebih empirik dibanding konsep. Ukuran-ukuran yang bisa digunakan untuk mengukur konsep adalah indikator.
Teori juga dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi, yaitu berdasar arah penalarannya kita bedakan antara teori yang menggunakan pendekatan induktif dan teori yang menggunakan pendekatan deduktif, berdasar tingkat kenyataan sosial teori dibedakan menjadi teori mikro, meso, dan makro. Berdasar bentuk penjelasannya, teori dibedakan menjadi teori yang menggunakan penjelasan kausal, teori yang menggunakan penjelasan struktural, serta teori yang menggunakan penjelasan interpretif.

SEJARAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Kekuatan Sosial dalam Perkembangan Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.

Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, di antaranya adalah revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara terutama yang terjadi di kawasan Eropa Barat, di antaranya adalah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah-masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk menemukan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah-masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu munculnya pemikiran-pemikiran baru di bidang sosial.

Teori Sosiologi Menjelang Abad Ke-20
Perkembangan teori sosiologi pada abad ke-20 terjadi cukup pesat di Amerika. Hal ini terdorong oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah perubahan sosial masyarakat yang membutuhkan pemecahan berdasarkan bidang ilmu tertentu secara cepat, dan didorong oleh perkembangan ilmu terutama di bidang kemasyarakatan yang mampu mengkaji masyarakat secara ilmiah.
Perkembangan teori sosiologi di Amerika diawali oleh perkembangan keilmuan di dua universitas, yaitu di Chicago University dan Harvard University. Namun demikian, dalam perjalanan waktu, sejalan dengan persebaran para tokoh sosiologi ke beberapa universitas di seluruh negeri, muncul pula universitas-universitas lain yang dianggap mampu melahirkan beberapa teori penting dalam bidang sosiologi, seperti Columbia University dan University of Michigan.
Di Chicago University dikenal adanya sekelompok pemikir sosial yang disebut kelompok Chicago School. Tokoh-tokoh sosiologi yang penting dari tempat ini adalah W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, dan Everett Hughess. Di Harvard University, sosiologi berkembang melalui tokoh-tokoh seperti Talcott Parsons, Robert K. Merton, Kingsley Davis, dan George Homans. Di samping itu, perkembangan teori sosiologi di Amerika juga sedikitnya terpengaruh oleh sebuah teori yang sering disebut-sebut sebagai teori di luar mainstream sosiologi di Amerika, yaitu khasanah pemikiran dari kelompok teori Marxian.
Pengetahuan perkembangan teori di Amerika sangat penting mengingat teori-teori yang berkembang di Amerika ini kemudian menjadi pusat perhatian dunia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Sejalan dengan teori interaksionisme simbolik, bangkit pula teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan oleh George Homans berdasarkan pemikiran psychological behaviorism dari B.F. Skinner.

Teori Sosiologi Setelah Pertengahan Abad 20
Perkembangan teori struktural-fungsional terlihat dari hasil karya para penerus Parsons yang diakui telah menyumbang teori struktural fungsional, seperti karya Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Pandangannya menerangkan bahwa stratifikasi adalah suatu struktur yang secara fungsional diperlukan bagi keberadaan masyarakat. Merton pun (1949) menjelaskan bahwa struktural fungsional harus menangani fungsi positif dan konsekuensi yang negatif (disfunctions).
Seperti teori umumnya, teori struktural fungsional pun mendapat kritikan dari beberapa ahli lainnya. Bahkan menjelang tahun 1960, dominasi struktural fungsional dianggap telah mengalami kemerosotan. Puncak dan kemerosotan dominasi struktural fungsional sejalan dengan kedudukan (dominasi) masyarakat Amerika di dalam tatanan dunia.
Sejalan dengan perkembangan teori sturktural-fungsional, terdapat teori konflik sebagai karya Peter Blau, yang dianggap menjadi cerminan dari teori struktural-fungsional. Padahal pada awalnya Blau dapat dikatakan sebagai pengembang teori marxian. Hampir mirip dengan karya Blau, dalam analisis marxian, adalah karya Mill mengenai sosiologi radikal.
Pada tahun 1950-an, Mills menulis sebuah buku yang mengkaji masalah revolusi komunis di Kuba dan pada tahun 1962 menerbitkan buku berjudul The Marxists. Keradikalan Mills dalam mengungkap fenomena sosial menjadikannya ia tersingkir dan menjadi ahli pinggiran dalam kancah sosiologi Amerika. Bukunya yang terkenal adalah The Sociological Imagination (1959). Isi buku tersebut diantaranya adalah upaya kritik Mills terhadap Talcott Parsons.
Perkembangan selanjutnya adalah teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan berdasarkan pemikiran psychological behaviorism. Dalam suasana kemunduran teori interaksionisme simbolik Goffman mampu menempatkan pemikirannya sebagai awal kemunculan analisis dramaturgi yang dianggap sebagai varian dari interaksionisme simbolik.
Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an muncul teori-teori sosiologi yang dikenal dengan perspektif sosiologi kehidupan sehari-hari (sociology of everyday life), yang dikenal pula dengan nama sosiologi fenomenologis dan etnometodologi. Sedangkan perkembangan teori sosiologi pada dekade 1980-an dan 1990-an di antaranya adalah teori integrasi mikro-makro (micro-macro integration), integrasi struktur-agensi (agency-structure integration), sintesis teoritis (theoritical syntheses), dan metateori (metatheorizing).

MENGENAL DIRI DAN PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE (1798-1857)
Perjalanan Hidup dan Karya Comte serta Pandangannya tentang Ilmu Pemgetahuan. Auguste Comte adalah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami masyarakat dan telah berkembang pesat sejalan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal itu, Auguste Comte diakui sebagai “Bapak” dari sosiologi.
Auguste Comte pada dasarnya bukanlah orang akademisi yang hidup di dalam kampus. Perjalanannya di dalam menimba ilmu tersendat-sendat dan putus di tengah jalan. Berkat perkenalannya dengan Saint-Simon, sebagai sekretarisnya, pengetahuan Comte semakin terbuka, bahkan mampu mengkritisi pandangan-pandangan dari Saint-Simon. Pada dasarnya Auguste Comte adalah orang pintar, kritis, dan mampu hidup sederhana tetapi kehidupan sosial ekonominya dianggap kurang berhasil.
Pemikirannya yang dikenang orang secara luas adalah filsafat positivisme, serta memberikan gambaran mengenai metode ilmiah yang menekankan pada pentingnya pengamatan, eksperimen, perbandingan, dan analisis sejarah.
Pemikiran Auguste Comte Tentang Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 menurut Comte dapat mencapai tahapan yang positif (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Sosiologi adalah menyelidiki hukum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam sistem sosial, yang selalu bergerak berubah secara bertahap. Hal ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara unsur-unsur dalam suatu sistem sosial secara keseluruhan.
Penjelasan mengenai gejala sosial, menurut Comte dapat diperoleh melalui 1) kajian terhadap struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial, dan 2) kajian perubahan atau perkembangan masyarakat berdasarkan konsep Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics). Comte mendefinisikan statika sosial sebagai kajian terhadap kaidah-kaidah tindakan (action) dan tanggapan terhadap bagian-bagaian yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Ritzer, 1996). Sedangkan dinamika sosial adalah studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah tentang gejala-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial hanya mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.

HERBERT SPENCER
Riwayat HIdup dan Awal Karir Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang filsuf, sosiolog pengikut aliran sosiologi organis, dan ilmuwan pada era Victorian yang juga mempunyai kemampuan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bagian mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga dipercaya sebagai wakil kepala bagian mesin. Setelah beberapa waktu lamanya bekerja di perusahaan kereta api, kemudian pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang saat itu terkenal.
Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang luar biasa dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya tentang biologi dan sosial di masa yang akan datang. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang menggunakan istilah Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain menerbitkan buku lepas, juga menerbitkan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya adalah Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan etika.
Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang akan menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).
Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan suatu sistematika penelitian masyarakat telah menjadikan sosiologi menjadi populer di masyarakat dan berkembang pesat. Sosiologi berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika

Pandangan Herbert Spencer tentang Sosiologi
Spencer adalah orang yang pertama kali menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang konkret. Tindakan ini kemudian diikuti oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar.
Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi yaitu merekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer kemudian mencoba menjembatani antara ilham dengan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, yaitu adanya materi yang tidak dapat dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.
Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, menurut Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan hukum dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan.
Spencer lebih lanjut mengatakan bahwa harus ada hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda di dalam proses evolusioner. Sedang sistem evolusi umum yang pokok menurut Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yaitu ketidakstabilan yang homogen, berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris, kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologinya menjadi 3 bagian yaitu faktor-faktor ekstrinsik asli, faktor intrinsik asli, faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga-lembaga.
Giddings pada tahun 1890 meringkas ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.
2. Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
3. Konflik menjadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
4. Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.
5. Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
6. Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial kecil menjadi kelompok sosial lebih besar dan kelompok-kelompok tersebut memerlukan integrasi sosial.
7. Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia kawan.
Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perspektif evolusioner adalah perspektif teoretis paling awal dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903).
Menurut Spencer, pribadi mempunyai kedudukan yang dominan terhadap masyarakat. Secara generik perubahan alamiah di dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam kelompok/masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan masyarakat sebagai benda material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat.
Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis, anorganis, dan superorganis.
Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan ilmu biologi, terutama beberapa ahli biologi berikut ini dan pandangannya:
1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).
2. Teori seleksi dari Darwin (1859).
3. Teori tentang penemuan sel.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme:
1. pertumbuhan dalam ukurannya,
2. meningkatnya kompleksitas struktur, dan
3. diferensiasi fungsi.
Teori tentang evolusi dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yaitu:
1. Unilinear theories of evolution.
2. Universal theory of evolution.
3. Multilined theories of evolution.
Spencer telah menggabungkan secara konsisten tentang etika, moral dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya adalah apakah etika dan politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya adalah untuk memperluas metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena individu sebagai unit.
Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang melekat pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu adalah pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh karena itu orang melihat moral sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.

KARL MARX
Marx, Kapitalisme, dan Komunisme Karl Marx tidak semata-mata menjadi seorang komunis dengan begitu saja. Banyak tokoh yang ikut andil dan berperan dalam menjadikan Marx seorang yang berpandangan komunisme, antara lain Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. Keempatnya, terutama filsafatnya Hegel, Feuerbach dan Engels, sangat kental mewarnai pemikiran Marx. Secara spesifik memang filsafatnya Hegel, yaitu yang berkaitan dengan konsep dialektik, menjadi titik tolak pemikiran Marx meskipun Marx mengkritisi filsafat itu karena dianggapnya sangat idealistik dan memiliki konsep yang terbalik. Marx sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi.
Marx, juga menyoroti perkembangan dan kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang memiliki berbagai sarana produksi, yaitu kaum borjuis. Konflik atau pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya Marx.

Dialektika dan Struktur Masyarakat Kapitalis
Perkembangan pemikiran Marx memang tidak lepas dari pengaruh filsuf-filsuf hebat seperti Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. von Magnis membagi lima tahap perkembangan pemikiran marx yang dibedakan ke dalam pemikiran ‘Marx muda’ (young Marx) dan ‘Marx tua’ (mature Marx). Gagasan dan pemikirannya terutama diawali dengan kajiannya terhadap kritik Feuerbach atas konsep agamanya Hegel yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan Tuhan. Marx yang materialistik benar-benar menolak konsep Hegel yang dianggapnya terlalu idealistik dan tidak menyentuh kehidupan keseharian.
Bagi Marx, agama hanya sekedar realisasi hakikat manusia dalam imajinasinya belaka, agama hanyalah pelarian manusia dari penderitaan yang dialaminya. Agama inilah yang merupakan simbol keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Marx mengadopsi sekaligus mengkritisi dialektikanya Hegel yang dianggapnya tidak realistik itu. Marx juga menganggap filsafatnya Hegel, yang idealistik itu, memiliki konsep yang terbalik.
Atas hal ini, Marx mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada berbagai konsep struktur sosial. Dimana di dalamnya tercermin konflik sosial dengan yang menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses produksi yang melibatkan dua kelas sosial yang berbeda, proletar dan borjuis. Kelas sosial inilah yang nantinya harus tidak ada karena, menurut Marx, pada suatu saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu masyarakat sosialis karena runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial dan tidak ada lagi hak kepemilikan pribadi. Inilah masyarakat yang menjadi obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis terhadap sistem ekonomi kapitalis.

EMILE DURKHEIM
Durkheim dan Fakta Sosial
Durkheim yang dikenal taat pada agama tetapi sekuler itu, dalam perjalanan ‘karirnya’ dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat dan sosiologi, seperti Montesquieu, Rosseau, Comte, Tocquueville, Spencer, dan Marx. Durkheim menyoroti solidaritas sosial sampai patologi sosial yang juga mengkaji tentang kesadaran bersama, morfologi sosial, solodaritas mekanik dan organik, perubahan sosial, fungsi-fungsi sosial, termasuk solidaritas dan patologi sosial. Durkheim memang berangkat dari asumsi bahwa sosiologi itu merupakan studi mengenai berbagai fakta sosial di mana di dalamnya ia menguraikan mengenai konsep sosiologinya serta berbagai karakteristik dari fakta-fakta sosial dimaksud.
Ia juga menjelaskanmengenai cara-cara mengobservasi berbagai fakta sosial dengan melakukan analisi sosiologis. Sedangkan mengenai fenomena moralitas yang menyangkut berbagai keyakinan, nilai-nilai, dan dogma-dogma (yang membentuk realitas metafisik) ia dekati juga dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan. Durkheim memang sepaham dengan pemikiran Comte bahwa ilmu pengetahuan itu haruslah dapat membuat manusia hidup nyaman. Upayanya untuk memahami berbagai fenomena bunuh diri melahirkan salah satu karya besarnya Suicide (’Bunuh Diri’)


MAX WEBER
Riwayat Hidup dan Sosiologi Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat.
Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.

Teori Dasar Sosiologi

Istilah sosiologi muncul pertama kali pada tahun 1839 pada keterangan sebuah paragraf dalam pelajaran ke-47 Cours de la philosophie (Kuliah Filsafat) karya dari Auguste Comte. Sebelumnya Comte sempat berpikir untuk memberi nama ilmu pengetahuan masyarakat dengan sebutan “fisika sosial”, tetapi beberapa bulan sebelumnya seorang dari Belgia bernama Adolphe Quetelet telah menggunakan nama tersebut untuk menyebut apa yang sekarang dianggap sebagai demografi.
Oleh karena hal tersebut dengan terpaksa Comte mengurungkan niat untuk memberi nama “ilmu pengetahuannya” tersebut dengan fisika sosial, sebagai gantinya Comte menyebutnya sebagai “sosiologi”, yang dibentuk dari bahasa Latin socius (masyarakat) dan bahasa Yunani logos (ilmu). Selain hal tersebut, Comte juga yang pertamakali mengaplikasikan metode ilmiah kedalam ilmu sosial, Comte percaya bahwa studi sosiologi haruslah ilmiah. Ia memberikan pengaruh yang cukup besar pada beberapa orang teoretisi sosiologi. Comte hidup pada masa akhir revolisi Prancis yang didalamnya terdapat serangkaian pergolakan-pergolakan yang muncul saling berkesinambungan, sehingga Comte lebih menekankan arti pentingnya keteraturan sosial. Comte merasa terusik dengan anarki dimasa itu seingga menyebabkan ia lebih kritis dengan para pemikir yang menumbuhkan revolusi (pencerahan). Comte mengembangkan pandangan ilmiahnya untuk melawan apa yang secara destruktif memberikan filsafat negatif dari pencerahan.
Comte dalam pandangannya sejalan dan dipengaruhi oleh pemikir Katolik kontrarevolusi Prancis seperti de Bonald dan de Maistre. Namun apa yang dikemukakan oleh Comte memiliki 2 kelebihan, yaitu :
1. Menurut pendapatnya, tidak mungkin untuk kembali lagi ke Zaman Pertengahan dikarenakan telah berkembangnya secara canggih ilmu pengetahuan dan industri yang menjadikan hal tersebut mustahil.
2. Comte mengembangkan sistem teoretis yang lebih canggih (terstruktur dan sistematis) daripada para pendahulunya, yaitu sebuah sistem teoretis yang cukup untuk membangun sosiologi awal.
Selain hal-hal tersebut, latar belakang lain yang mempengaruhi jalan pemikiran Comte terhadap pandangannya ialah lahirnya paham yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Saint-Simon.
Menurutnya sosiologi akan menjadi sebuah ilmu yang dominan, menelaah tentang statika (struktur sosial yang ada) dan dinamika sosial (perubaan sosial). Meskipun keduanya sama-sama melibatkan pencarian hukum-hukum kehidupan sosial, ia merasa bahwa dinamika sosial lebih penting daripada statika sosial karena dinamika sosial berisi tentang teori perkembangan dan kemajuan masyarakat dan dinamika sosial juga merupakan study tentang sejarah yang akan mengilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri. Fokus pada perubahan sosial inilah yang menunjukkan minatnya kepada reformasi sosial, khususnya reformasi terhadap dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh adanya Revolusi Prancis dan Pencerahan.
Tetapi dalam pandangannya tersebut Comte tidak menyerukan untuk perubahan secara Revolusioner, karena ia merasa evolusi alamiahlah yang dapat merubah masyarakat dan memperbaiki semuanya. Reformasi yang dibutuhkan hanya sedikit untuk membantu terlaksananya proses ini. Kemudian melalui pandangan ini Comte mengeluarkan pendekatannya tentang teori evolusi linier yang disebutnya sebagai hukum tiga tahap, didalam teori ini tersirat bahwa terdapat tiga tahap intelektual yang secara pasti akan dilalui oleh ilmu pengetahuan, dunia, individu, masyarakat dan bahkan pikiran pun ikut turut kedalam teori tiga tahap ini.
Tahap yang pertama ialah tahap Teologis yang merupakan ciri dunia sebelum tahun 1300. Dalam masa itu, sistem pikiran utama manusia dititikberatkan pada  kepercayaan terhadap kekuatan supranatural dan figur-figur religius menjadi akar segalanya. Secara khusus, dunia sosial dan fisik dianggap sebagai dua hal yang dibuat oleh Tuhan. Masa ini adalah masa kepercayaan magis, percaya pada jimat, roh, dan agama, dunia dipercayai menuju kepada alam baka, menuju ke pemujaan terhadap nenek moyang, kemudian menuju ke sebuah dunia dimana “orang mati dianggap mengatur orang hidup”. Kemudian pada tahap yang kedua ialah tahap Metafisika. Yang kira-kira berlangsung antara tahun 1300 hingga tahun 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bawa kekuatan abstrak seperti ‘alam’, dan bukan tuhan yang dipersonalisasikan, diyakini dapat menjelaskan segalanya. Kepercayaan gaib diganti oleh kekuatan abstrak, seperti “Alamnya” Spinoza, “Tuhan Geometrinya” Descartes, “Materinya” Diderot dan juga “Akal sehatnya” Abad Pencerahan. Masa ini dianggap sebagai masa kemajuan jika dikaitkan dengan pemikiran antropomorfis sebelumnya, namun demikian pemikiran orang masih dianggap terbelenggu dalam konsep filosofis yang abstrak dan universal. Orang mengkaitkan realitas dengan prinsip-prinsip pertama. Ini yang ditulis oleh Comte sebagai “metode filsuf”. Kemudian, pada jenjang terakhir ialah tahap positif yaitu pada tahun 1800 yang dicirikan oleh kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan, keadaan intelegensia kita yang telah ‘berani’. Kini orang lebih cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (Tuhan atau alam) tetapi lebih berkonsentrasi pada penelitian dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya. Semangat positif menyingkirkan pencarian menyangkut pertanyaan hakiki “mangapa” yang terkait dengan segala sesuatu dalam memikirkan tentang perbuatan, yaitu “hukum-hukum efektif berupa hubungan suksesi dan kesamaan yang tidak berubah.
Jelas bahwa dalam teorinya tentang dunia, Comte mengedepankan perhatiannya pada faktor intelektual. Ia menegaskan bahwa kekacauan intelektuallah yang menjadi dasar dari kekacauan sosial. Kekacauan yang timbul dari sistem pemikiran sebelumnya (teologis dan metafisis) kemudian terus muncul pada pada zaman positivistic (ilmiah). Baru setelah positivism mengambil kendali semauanya, keresahan sosial akan menurun dan hal tersebut merupakan proses evolusi yang hingga akhirnya nanti dapat mendatangkan keteraturan dalam dunia sosial. Menurut pandangananya juga terdapat banyak kekacauan yang terjadi di dunia ini. Pada banyak kasus, Comte mengemukakan bahwa yang diperlukan adalah perubahan intelektual, sehingga hanya ada sedikit alasan untuk melakukan revolusi politik dan sosial.
Secara keseluruhan beberapa pandangan Comte yang penting dalam perkembangan sosiologi klasik. Landasannya yang begitu konservatif, reformis, dan ilmiah, dan pandangannya tentang evolusionernya dunia. Comte ada di garis depan perkembangan sosiologi posivistik, positivismnya menegaskan bahwa ‘alam semesta sosial bertanggung jawab atas perkembangan hukum yang dapat diuji dengan pengumpulan data secara seksama’ dan ‘hukum-hukum abstrak ini akan merujuk pada unsur dasar dan genetik semesta sosial tersebut dan akan memperlihatkan hubungan alamiah’. Meskipun positivism tetap penting dalam sosiologi kontemporer, namun ia telah dicecar dari berbagai arah. Walaupun Comte miskin dari segi akademis yang kuat bagi terbangunnya mazhab teori sosiologi Comtian, namun ia telah meletakan dasar bagi perkembangan arus utama dalam teori sosiologi. Namun signifikansi jangka panjang ini dikerdilkan oleh penerusnya di sosiologi Prancis, dan pewaris sejumlah gagasanya, Emile Durkheim maupun teoretis klasik lainnya.
Setelah mengungkapkan prinsip-prinsip postivisme sejak saat itu ia membuang dasar-dasar organisasi sosial yang pernah dihasilkannya. Mulai tahun 1845 Comte menghabskan waktunya dengan menulis “sistem politik positif” yang nantinya bertransformasi menjadi “agama baru”.
Comte mengkritik “semangat teologi” kuno meskipun ia merasa bahwa agama turut bertanggung jawab sebagai “semen perekat” dalam hubungan sosial. Industrialisasi dan Revolusi Perancis telah mengacaubalaukan Rezim Lama serta ikut berkontribusi dalam hancurnya ikatan-ikatan lama yang telah mempersatukan manusia di  antara mereka (Gereja, perserikatan atau korporas dan “aturan” dari Rezim Lama). Yang menghasilkan sebuah masyarakat yang tereduksi menjadi sekumpulan individu. Maka menurut Comte bahwa sekumpulan individu saja tidak cukup untuk membentuk sebuah masyarakat. Comte menyebutkan bahwa di dalam sekumpulan individu-individu tersebut perlu adanya “ikatan organik” yang saling menghubungkan individu menjadi seorang yang “superior”. Sebuah masyarakat merupakan sebuah asosiasi antar manusia yang seharusnya melampaui kepentingan-kepentingan khusus individu yang ada di dalamnya
Berdasar anggapannya tersebut, pada tahun 1874, Comte memproklamaskan terciptanya sebuah “agama kemanusiaan”. Dalam agama itu ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosiallah yang menjadi dogmanya. Para ilmuwan menjadi pendetanya. Tahun-tahun terakhir Comte menjad masa yang semakin lama mengarah ke aliran messianisme, Comte bahkan mendeklaraskan diri sebagai “pemegang kekuasaan tertinggi keuskupan kemanusiaan”.
2. Karl Marx (1818-1883) : Marx dan Sosiologi
Karl Marx sebenarnya bukan merupakan seorang sosiolog. Bahkan istilah sosiologi tidak pernah muncul dalam karya-karyanya. Hal penting dari analisanya tidak hanya yang diakui oleh pengikut “Marxis” saja namun juga oleh para penulis lain seperti Max Weber atau Raymond Aron. Pada tahun 1859 dalam tulisannya Avant-propos de la Critique de l’economie politique ( Pengantar Kritik Ekonomi Politik) Marx membuat ikhtisar tentang “rute perjalanan” intelektual yang menyebabkan ia meninggalkan studi filsafatnya dan mencurahkan diri pada studi ekonomi politik.
Marx kemudian menceritakan bagaimana ia dibimbing untuk meninggalkan ideologi Hegel dan mengadopsi sebuah konsep materialisme sejarah. Selanjutnya ia menggambarkan garis-garis besar pendekatan baru ini. Fundamen dari sebuah masyarakat terletak dalam kehidupan materiilnya. Dengan bekerja manusia menghasilkan (berproduksi) untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat. Jadi, dalam ekonomi politik kita bisa menemukan anatomi masyarakat sipil. Struktur ekonomi masyarakat merupakan pondasi riil sebagai dasar pendirian bangunan yuridis dan politik, serta menjadi jawaban atas bentuk-bentuk kesadaran sosial yang telah ditentukan.
Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, tetapi sebaliknya, eksistensi sosiallah yang menentukan kesadaran mereka. Cara produksi dari sebuah masyarakat berupa tenaga kerja produksi (manusia, mesin, dan teknik) dan hubungan produksi (perbudakan, sistem bagi hasil, sistem kerajinan tangan, bekerja upahan). Cara produksi ini membentuk ‘kaki penopang’ sebagai penyangga superstruktur politik, yuridis, dan ideologis masyarakat. Selama beberapa kali telah terjadi pergantian cara berproduksi, yaitu dari model yang kuno, model Asia, feodalistis dan borjuis. Kemudian pada perkembangan yang menjumpai titik tertentu, tenaga produksi mulai terlibat konflik dengan hubungan produksi. Itu sebabnya maka, dimulailah era revolusi sosial.
Perubahan landasan ekonomi diiringi dengan kekacauan secara cepat atau lambat pada bangunan bentuk yuridis, politik, religius, artistik dan filosofis. Pendekatan bangunan ini adalah bentuk-bentuk ideologi yang di dalamnya manusia memperoleh kesadaran akan konflik tersebut dan akan menekannya sampai ke ujung batas.
Banyak penafsiran dalam memperdebatkan tentang apa yang seharusnya dipahami dari “dasar material masyarakat”, tentang  cara-cara yang dijelaskan melalui “tenaga produksi” dan “hubungan produksi”. Pada naskah ini seringkali tidak tepat dalam menjelaskan, bersifat ambigu dan memiliki begitu banyak variasi. Pada awalnya ia hendak beroposisi terhadap pandangan sejarah idealis, terutama yang berasal dari “pemuda penganut aliran Hegel” yang dikritiknya secara tajam dalam L’Idelohie allemande (1845). Kaum idealis ini menganggap bahwa pemikiran mengatur dunia, oleh karena itu perlu adanya pemikiran-pemikiran yang baru juga. Menghadapi aliran ideologi ini Marx mempertahankan pendapatnya tentang materialisme dalam hal prinsip yang rumusan yang begitu meyakinkan. Kritiknya terhadap Hegelianisme menjatuhkan posisi aliran idealis dan menegaskan adanya konsep materialis di mana masyarakat dianggap sebagai piramida. Bagian terbawah terdiri dari dasar material, ekonomi, kemudian di atasnya terdapat politik dan hukum dan kemudian pemikiran. Bergantinya cara berproduksi ke cara produksi lain menimbulkan kontradiksi-kontradiksi ekonomi, yang menyebabkan adanya pertarungan antar kelas. Dalam manifaste du parti communiste, materialismedianggap tak kenal ampun dan determinisme begitu kuat. Marx menyebutkan bahwa terjadi pengasingan (alienasi) dan menganggap bahwa kerja bukan lagi untuk diri sendiri, melainkan karena adanya tuntutan dari kapitalis. Istilah kerja ini tidak mencakup hanya untuk ekonomi saja tetapi mencakup seluruh tindakan produktif (mengubah dan mengolah alam material untuk tujuan lain). Kerja dianggap sebagi sebuah aktifitas sosial.
Ketika ia menulis tentang adanya transisi dari kapitalisme menuju sosialisme, Marx kemudian mengembangkan sebuah konsep dialektika transformasi sosial. Kapitalisme biasanya tunduk pada kontradiksi-kontradiksi periodik. Dan krisis ini secara tidak langsunng menjadi sebuah hukum. Marx ingin mengemukakan kontradiksi-kontradiksi yang dalam sistem kapitalisme dapat menimbulkan krisis sekaligus menunjukkan bagaimana hukum-hukum itu memang tendensius, dan fenomena yang merupakan hasil pertemuan keduanya kadang menghalangi adanya hukum-hukum perkembangan.
Lebih lanjut lagi bahwa krisis-krisis ini saja tidak cukup untuk menghancurkan sistem ekonomi. Oleh karena itu kaum proletar harus mengorganisasikan diri dan menyerang sistem ini. Pemberontakan saja kurang cukup, kaum proletar harus mengorganisasikan diri menjadi sebuah partai.
Teori Eksploitasi : dunia modern  diperintah oleh logika akumulasi komoditas. Nilai komoditas berasal dari pekerja manusia yang termasuk didalamnya. Kerja juga termasuk komoditas yang memiliki kualitas khusus dan dari kualitas inilah yang akan menghasilkan nilai lebih sehingga tidak dimasukkan dalam harga pembelian.  Sebenarnya kaum kapitalis sama sekali tidak membeli pekerjaan yang dilakukan oleh kaum proletar, tetapi hanya membayar tenaganya untuk bekerja (yang mencari nafkah yang membutuhkannya). Perbedaan nilai antara tenaga kerja dan pekerjaan yang dilakukan menjadi nilai lebih, dan inilah yang menjadi sumber modal (kapital). Modal ini yang harus diciptakan lagi setiap hari dalam hubungan eksploitasi tersebut.
Hukum Teori Kapitalisme: persaingan menyebabkan kaum kapitalis mengakumulasikan modalnya, maksudnya harus menginvestasikan kembali sebagian keuntungan untuk memperbaiki sarana produksi. Dari hukum akumulasi ini Marx menarik kesimpulan adanya beberapa kecenderungan evolusi, antara lain:
  1. Kecenderungan terjadinya mekanisasi produksi yang semakin lama semakin tinggi.
  2. Konsentrasi modal seiring dengan meningkatnya perusahaan dan konsentrasi perusahaan di tangan beberapa orang kapitalis saja.
  3. Peningkatan pengangguran dan penurunan upah relatif yang dianggap Marx sebagai konsekuensi dari akumulasi tersebut. Mesin cenderung hendak menggantikan tempat manusia sehingga menjadi cadangan senjata di bidang industri dan keberadaannya cenderung menekan upah menjadi semakin rendah. Proses pemelaratan yang semakin meningkat ini muncul sebagai hukum umum ekonomi kapitalis.
  4. Hukum penurunan nilai keuntungan yang tendensius berasal dari meningkatnya modal konstan (mesin) yang terkait dengan modal yang berubah-ubah atau modal variabel (para pekerja). Keuntungan (nilai lebih) hanya berasal dari pekerjaan manusia, penurunan nilai terkait dengan jumlah pekerja (jika dikaitkan dengan mesin) yang menyebabkan terjadinya penurunan nilai keuntungan.
Namun demikian pemiskinan ini akan memicu terjadinya pemberontakan massa. Di sini logika ekonomi menyodorkan tempatnya bagi logika sosial, bahwa pemberontakan dilakukan oleh kaum tertindas (proletar) untuk melawan sistem yang diciptakan oleh penguasa (borjuis).
Mekanisme Krisis: eksploitasi dan konsentrasi modal konstan (mesin) menyebabkan adanya peningkatan dalam kapasitas produksi secara terus-menerus, tetapi peningkatan ini dapat menimbulkan kerugian dalam posibilitas konsumsi (melalui penghasilan yang didistribusikan). Dari sinilah merupakan asal krisis kelebihan produksi yang secara tiba-tiba dan secara periodik menandai kapitalisme. Marx menganggap bahwa krisis ini makin lama pasti akan menjadi sebuah krisis yang begitu berat hingga kelak sulit bahkan tidak mungkin dapat teratasi. Dalam teorinya tentang mekanisme krisis ini Marx mengalami kebuntuan sehingga ia tidak pernah tuntas dalam pemahaman teori ini.
  1. Max Weber (1864-1920)
“Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama”
Konsepnya mengenai ilmu pengetahuan sosial yang terungkap dalam Le Savant et le politique (Ilmuwan dan Politik) menunjukkan adanya perbedaan yang radikalantara penilaian terhadap nilai dan juga penilaian terhadap tindakan. Pengetahuan tentang inilah yang akan menjadi dasar dalam nilai-nilai yang memandu politik.
Bagi Weber sosiologi mula-mula dianggap sebagai ilmu pengetahuan tentang tindakan sosial. Ia menolak determinisme dari Karl Marx dan Durkheim yang mengurung manusia dalam sebuah jaring paksaan sosial yang tidak disadari manusia.
Weber menganggap bahwa paksaan dan determinisme itu bersifat relatif. Yang ada bukanlah hukum yang absolut melainkan tendensi-tendensi yang memungkinkan terjadinya suatu kebetulan dan pada keputusan individu. Ia yakin bahwa masyarakat adalah produk dari tindakan individu-individu yang berbuat dalam kerangka fungsi nilai, motif, dan kalkulasi rasional. Jadi menjelaskan tentang sosial berarti harus menyadari cara manusia untuk mengorientasikan tindakannya. Langkah ini disebut dengan sosiologi komprehensif. Yang dimaksud dengan sosiologi menurut Weber adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dengan cara melakukan interpretasi atas aktivitas sosial.
Dengan berbekal perangkat metodologis berupa langkah komprehensif dan metode tipe-ideal, Weber menyadari adanya beragam studi komparatif menyangkut bentuk-bentuk hukum, tipe agama, cara organisasi ekonomi dan politik. Sebuah pertanyaan besar mendominasi  bidang ini, yaitu: “apa hal yang paling menonjol dari masyarkat modern?”
Menurutnya, rasionalisasi kehidupan sosial menjadi ciri yang paling signifikan dalam masyarakat modern. Rasionalisasi yang dimaksud mengenai tiga tipe besar aktivitas manusia, yaitu:
  1. Tindakan tradisional yang terkait dengan adat-istiadat. Aktivitas sehari-hari seperti makan atau cara memberi salam kepada teman merupakan tindakan tradisional.
  2. Tindakan afektif yang digerakkan oleh nafsu. Para rentenir dan para penjudi bergerak dalam level ini.
  3. Tindakan rasional yang merupakan instrumen, ditujukan ke arah nilai atau tujuan yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan dengan cara. Strategi, termasuk dalam level ini, strategi bersifat rasional dalam hal penyesuaian efektivitas tindakan yang lebih baik dan diarahkan ke tujuan materiil atau  diorientasikan lewat nilai-nilai.
Menurut Weber, tindakan rasional menjadi ciri utama dalam masyarakat modern, yaitu mewujudkan dirinya sebagai pengusaha kapitalis, ilmuwan, konsumen atau pegawai yang bekerja atau bertindak sesuai logika. Sekalipun demikian Weber menegaskan bahwa jarang sekali aktivitas sosial yang hanya berorientasi pada salah satu aktivitas saja. Jenis-jenis aktivitas ini hanya berupa tipe-tipe murni yang dibangun untuk tujuan riset sosiologi. Aktivitas riil itu kurang lebih sebanding dan lebih sering untuk berkombinasi. Produktivitas (fecondite), menurutnya menyebabkan munculnya kebutuhan untuk membangun.
Sebenarnya kita dapat menunjukkan bahwa ketiga jenis tindakan tersebut saling berkelindan menjadi satu aktivitas. Dalam karyanya Ethique protestante et l’esprit de capitalisme (Etika Protestan dan Jiwa Kapitalisme) Weber menunjukkan bahwa rasionalisasi tindakan hidup sehari-hari seperti yang dipuji oleh pendiri agama Protestan mendukung perkembangan kapitalisme.
Dalam Economic et Societe Weber membahas berbagai jenis hubungan sosial yang berbeda-beda terutama bentuk-bentuk dominasi politik. Ia memebedakan tiga bentuk ideal tipe dominasi tersebut, yaitu:
  1. Dominasi tradisional yang didasarkan pada legitimasi karena ciri sakralitas tradisi yang melekat padanya. Kekuasaan patriakhis di tengah-tengah kelompok penghuni ruang domestik dan kekuasaan para tuan tanah dalam masyarakat feodal termasuk dalam kategori ini.
  2. Dominasi karismatik yang merupakan dominasi suatu personalitas tertentu dan dikaruniai aura khusus. Pemimpin karismatik mendasarkan kekuasaanya pada kekuatan untuk mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Ketaatan terhadap pemimpin semacam ini terkait dengan faktor-faktor emosional yang berhasil dibangkitkan, dipertahankan dan dikuasainya.
  3. Dominsi legal-rasional yang bertumpu pada kekuatan hukum formal dan impresonal. Dominasi ini terkaut dengan fungsi, dan bukan pada kekuatan sihir. Dominsai rasional atau legal-birokratis ini berlangsung melalui kepatuhan terhadap sebuah kitab hukum fungsional.
Administrasi birokrasi merupakan tipe murni dominasi legal. Kekuatan yang didasarkan pada kompetensi dan bukan pada asal-usul sosial masuk ke dalam bingkai peraturan impersional. Pelaksanaan eksekusi tugas terbagi menjadi beberapa fungsi yang dikhususkan dengan kontur-kontur yang ditentukan secara metodis. Karier diatur dengan kriteria-kriteria kualifikasi dan rentang waktu objektif kedinasan dan sebagainya, dan bukan dengan kriteria yang sifatnya individu.
Weber meyakinkan bahwa cara organisasi ini bukan ciri khas administrasi publik namun merupakan ciri perusahaan kapitalis, bahkan juga terdapat dalam tatanan keagamaan tertentu. Birokrasi ditandai dengan sebuah cara pengaturan dan cara organisasi yang didasarkan pad rasionalisasi pekerjaan sebagaimana yang mulai dipraktikkan. Rasionalisasi ini juga masuk berbagai bentuk pemikiran seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnik. Karakter umu dan usaha meningkatkan tekhnik pemikiran ini mengakhiri dunia mitos dan keyakinan keagamaan. Inilah maksud  rumusan Weber tentang kekecewaan dunia (desenchantemant du monde).